PCINU AS-Kanada Bahas Spiritualitas Puasa Lewat Pendekatan Neuroscience
Selasa, 27 April 2021 | 11:45 WIB
Dimensi Neuroplastisitas yang terjadi ketika berpuasa adalah perubahan neuron di otak yang berdampak pada perubahan prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Jakarta, NU Online
Sekertaris Pimpinan Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat dan Kanada, Profesor Etin Anwar membahas Spiritualitas Puasa dalam Pendekatan Neuroscience. Sebab hampir semua agama memiliki tradisi puasa baik agama samawi, maupun non-samawi.
Prof Etin menjelaskan, puasa secara fisik adalah menahan untuk tidak makan, minum, dan menghindari setiap hal yang dapat membatalkan puasa dari terbit Fajar sampai tenggelam Matahari. Sedangkan secara ruhani seorang yang berpuasa diharuskan untuk tidak melakukan kegiatan negatif.
"Jadi, ini topik yang sangat penting sekali karena bapak/ibu secara keilmuan spiritual saya yakin sudah mumpuni. Tetapi bagaimana kaitannya dengan otak kita menjadi sesuatu yang perlu kita pelajari," kata Etin dalam tayangan Dialog Inspiratif di kanal Youtube Redautaes, Senin (26/4).
Profesor di Hobbart and William Smith College, New York ini menyampaikan, banyak hikmah serta keberkahan yang terkandung dalam puasa bagi organ tubuh untuk beristirahat dan sel-sel dalam tubuh berkumpul untuk bertahan.
"Semua ini menurut saya sangat positif. Nah, kepositifan inilah yang kemudian ditransmisikan menjadi transmisi neuron, transmisi dalam sel-sel saraf membuat badan kita semangat bangun jam dua pagi, tarawih 23 rakaat berjam-jam kuat. Karena dari segi psikologis hal itu terjadi karena adanya dorongan motivasi dalam diri," ungkapnya.
Sementara, menurut Behavioural Neuroscientist, Taufik Pasiak menyebutkan dalam ilmu kejiwaan (nafsiologi) ada dua tujuan dalam berpuasa. Pertama, membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs). Kedua, memelihara jiwa (tarbiyatun nafs).
"Makanya, berpuasa itu adalah memelihara nafsu yang sudah terdidik menjadi lebih baik. Itu tradisi puasa yang disistemisasi dalam islam melalui ayat 183 dalam surat Al-Baqarah," tutur Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado ini.
Ada beberapa hal yang membuat puasa Ramadan berbeda dengan puasa-puasa lainnya, Taufik mengatakan, pertama, conditioning (pengondisian) segala sesuatu/rekayasa lingkungan melalui niat untuk mengubah suatu prilaku.
"Adakalanya kita bisa mengubah prilaku dengan hal-hal sepele karena lingkungan dianggap sebagai faktor yang sangat kuat yang bisa mengubah sel-sel dalam tubuh manusia, itu namanya Neuroplastisitas," terang Founder Semesta Otak Indonesia ini.
Disampaikan pula oleh Taufik, bahwa sistem pengondisian itu digunakan pada lingkungan militer untuk melatih anggotanya. Namun pelaksanaannya tidak seritual puasa Ramadan, sebab tidak mengandung nilai transendental.
"Kemudian, ada repetion (pengulangan) sehingga menjadi skill, dilakukan berulang-ulang dengan ritual-ritual tertentu sehingga orang (berpuasa) itu seperti training (latihan)," jelas Taufik menyampaikan.
Contoh lain dimensi Neuroplastisitas yang terjadi ketika berpuasa adalah perubahan neuron di otak yang berdampak pada perubahan prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
"Jadi, puasa tahun ini adalah evaluasi puasa tahun lalu, begitu seterusnya. Ini luar biasa kalau kita kaji dari segi latihan ada mekanisme evaluasi yang membuat kita bisa memahami dengan baik puasa itu asalkan kita melakukannya dengan betul-betul," ungkap Direktur Komunitas Otak Sehat (KOS) ini.
Taufik menerangkan, bahwa setiap manusia memiliki sisi emosional dan spiritual yang tercermin dalam prilaku, keduanya sekilas terlihat sama, namun jelas mempunyai makna berbeda.
Emosi merupakan suatu komponen rasa, di antara keduanya yang membedakan adalah motif yang mendorong, "Kalau motifnya lebih bersifat transendental ada kekuatan-kekuatan dari luar yang mendorong kita itu manifestasinya spiritual, tapi kalau itu dorongan sendiri dari dalam kalau kita sedang proses belajar maka itu lebih ke emosional," jelas Taufik.
Dalam hal ini walaupun prilaku yang ditunjukkan hampir sama, akan tetapi dampak dari spiritual dan emosional itu berbeda, oleh sebab itu, Taufik mengingatkan, bahwa sebuah prilaku spiritual itu bermula dari prilaku yang bersifat emosi.
"Emosi di sini bukan emosi marah. Emosi itu suatu kualitas mental manusia yang relatif bersifat tidak sadar, jadi orang bisa menjadi kualitas takwa kalau emosinya bagus, orang akan beriman kalau emosinya juga bagus," ujarnya.
Lebih lanjut, Taufik menegaskan bahwa seseorang yang menghendaki dirinya sebagai pelaku spiritual tentu harus memiliki emosi yang bagus dan mampu mengelola rasa dengan baik. Sebab, salah satu syarat mencapai kualitas takwa adalah mendasari diri dengan pengelolaan emosi yang baik.
"Selama ini kan kita kenal ada yang namanya kecerdasan emosi. Nah, itu jalur emosional yang saya bilang tadi sebagai jalur-jalur mental training, tapi, saya mau mengenalkan jalur yang physical training (latihan jasmani) sebagai jalur untuk mendewasakan emosi," tegasnya.
Kemudian Taufik menyampaikan, Al-Qur'an menyebutkan bahwa dengan melatih self control (pengendalian diri) puasa bisa membawa kepada kondisi spiritual.
"Self control ini adalah kualitas emosi. Ada tiga emosi dasar yang memandu spiritualitas, self control (pengendalian diri), recilience (kemampuan beradaptasi), dan willpower (kemauan/tekad). Misalnya begini, orang yang mampu mengendalikan diri itu biasanya dia bisa mengendalikan semua hal, kendali inilah yang bisa memandu seseorang pada kondisi spiritual yang sangat tinggi," imbuh dia.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad