Pengamat Timteng: Afghanistan Bergeser dari Sunni ke Salafi-Wahabi
Ahad, 29 Agustus 2021 | 01:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengamat Politik Timur Tengah, M Najih Arromadloni, mengatakan ada tranformasi ideologi yang terjadi di Afghanistan dari Sunni ke Salafi Wahabi. Taliban dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) lahir dari ideologi Salafi-Wahabi yang eksklusif, merasa bahwa mereka sebagai representasi Islam.
“Keduanya mengaku mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menentang mereka adalah menentang Allah dan Rasul-Nya,” ungkap Gus Najih dalam diskusi daring bertajuk Serial Kajian Studi Kehidupan Agama Kontemporer di TVNU, Jumat (29/8/2021).
Ia menjelaskan, sebelum invasi Uni Soviet pada 1979, Afghanistan memang mayoritas Sunni yang menganut Imam Maturidi dalam teologi dan Imam Hanafi dalam madzhab fiqih. Bahkan, mereka banyak menganut tarekat Naqsyabandiyah. Setelah kedatangan Soviet, ideologi sedikit demi sedikit bergeser.
Pada saat Perang Soviet 1979-1989, lanjut dia, warga Afghanistan mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sebuah lembaga pendidikan yang didanai oleh Arab Saudi di Pakistan. Lembaga pendidikan yang sangat besar dengan 4000-an siswa per-angkatan ini bernama Darul Ulum Haqqaniyah.
“Ketika pulang ke Afghanistan tahun 1990-an, anak-anak itu sudah membawa ideologi yang berbeda, yaitu Salafi-Wahabi. Saya berkeyakinan seperti itu,” tegas Gus Najih, sapaan akrabnya.
Penulis buku Bid’ah Ideologi ISIS: Catatan atas Penistaan ISIS terhadap Hadis (2017) itu membeberkan, ada sebuah patung Budha terbesar dan tertua di dunia yang terletak di Bamian, Afghanistan.
Selama ribuan tahun Afghanistan dikuasai umat Islam, semenjak dibebaskan Sayyidina Umar hingga 1990-an, patung itu tetap terjaga, tidak pernah ada yang mengusik. Tetapi pasca-pulangnya anak anak Taliban – yang berarti siswa – ke negaranya, menjadi berubah: patung-patung yang ada di sana mulai dihancurkan.
Padahal kalau kita lihat sikap mayoritas umat Islam, di Mesir ada patung-patung di Piramida dibiarkan, tidak masalah. Kemudian di Petra, Yordania, itu juga banyak patung-patung dibiarkan.
“Di Indonesia, Candi Borobudur, Candi Prambanan, semuanya mengandung patung, tidak pernah diusik oleh umat Islam. Ini adalah ideologi mayoritas umat Islam yang moderat, Ahlussunnah wal Jamaah, yang tidak mengusik kehidupan umat beragama lain,” ungkapnya.
Semi Liberal
Gus Najih menambahkan, indikasi lain misalnya keharusan memakai cadar. Madzhab Hanafi, lanjut dia, adalah mazhab paling rasional. Bisa jadi disebut semi liberal karena dalam Ushul Fiqh mereka mengadopsi Istihsan yang ditentang Imam Syafi’i. Kata Imam Syafi’i, man istahsana faqad syarra’a (barangsiapa melakukan istihsan/menilai baik sesuatu, maka dia telah membuat-buat syariat).
“Dalam hal cadar, Madzhab Hanafi tidak pernah mewajibkan. Bahkan, sebagian mengatakan menggunakan cadar hukumnya makruh. Tetapi, Taliban tidak. Mereka justru mewajibkan semua perempuan untuk bercadar,” jelasnya, memberi argumen.
“Bisa kita lihat yang lain, misalnya, mengharamkan musik. Itu juga khas narasi orang-orang Salafi-Wahabi. Begitu juga dengan mewajibkan jenggot, celana cingkrang, beragama secara konservatif, itu kan khas Salafi-Wahabi,” sambungnya.
Secara politik, lanjut dia, bisa juga dilihat pada 1996-2001 ketika Afghanistan dipimpin Taliban. Di saat tidak ada negara yang mau mengakui otoritas Taliban, hanya Arab Saudi yang mengakui kepemimpinan Taliban selain Pakistan dan Uni Emirat Arab. “Kenapa Saudi mengakui? Karena memang satu ideologi: Salafi-Wahabi,” tandasnya.
Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (ALSYAMI) itu mengatakan, baik Taliban yang muncul di Afghanistan maupun ISIS di Suriah, keduanya lahir dari negara yang memiliki konflik berkepanjangan. “Satu hal yang menyamakan menurut saya adalah sama-sama lahir dari negara konflik dan atas peran Amerika,” terangnya.
Gus Najih berharap agar Amerika berhenti mengintervensi Afghanistan. “Amerika terus melakukan intervensi terhadap negara-negara lain, menurut saya, ini petualangan yang sangat berbahaya,” katanya.
Dijelaskan, lahirnya ISIS, Taliban maupun kelompok-kelompok teror, langsung maupun tidak langsung adalah peran Amerika. ISIS muncul setelah Amerika menginvasi Irak. Taliban membesar setelah Amerika menginvasi Afghanistan.
“Meskipun kalau kita baca peta geopolitiknya, lahirnya Taliban itu sendiri tidak lepas dari Amerika. Tadi saya katakan bahwa mereka dulu dididik di lembaga-lembaga pendidikan yang didanai Arab Saudi,” terangnya.
“Tetapi Taliban ini mendapatkan pelatihan militer justru dari CIA (Central Intelligence Agency). Sebetulnya sampai sekarang pun CIA masih bisa memegang orang-orang Taliban, sebagaimana dikatakan oleh KH As’ad Said Ali (mantan Wakil Kepala BIN) tadi,” sambungnya.
Seandainya Taliban tidak dalam kontrol Amerika, sambung Gus Najih, tentu tidak mungkin bisa membuat kantor politbiro di Doha, Qatar. Dikatakan, Qatar termasuk salah satu negara yang menjadi sekutu Amerika dan mempunyai pangkalan militer di sana.
“Taliban bisa sampai di Indonesia juga atas restu dari CIA. Kemudian Taliban bisa dengan cepat menguasai Afghanistan itu juga karena peran dari Amerika, karena memang sudah ada komando. Itu mengapa militer Afghanistan tidak melawan,” pungkasnya.
Kontributor: Ahmad Naufa KF
Editor: Musthofa Asrori