Nasional

Sebagaimana Palestina, Isu Taliban Sudah Bergulir Sejak Lama

Sabtu, 28 Agustus 2021 | 00:45 WIB

Sebagaimana Palestina, Isu Taliban Sudah Bergulir Sejak Lama

Ilustrasi: Demonstrasi terjadi di Kota Jalalabad, massa berkumpul mengibarkan bendera Republik Afghanistan menentang Taliban. (Foto: @Iqbal_Kholidi)

Jakarta, NU Online

Setelah Taliban kembali mengklaim berkuasa atas Afghanistan usai menduduki Ibu Kota Kabul sejak 15 Agustus lalu. Isu Taliban sudah bergulir sejak lama dan ramai diberitakan oleh media sebagaimana isu Palestina, namun dalam konteks yang berbeda. 


Hal itu disampaikan Pemimpin Redaksi NU Online, Achmad Mukafi Niam dalam diskusi daring bertajuk Taliban atas Afghanistan dan Perdebatan Kita di Indonesia di Youtube TVNU, Jumat (27/8) siang.


Dia mengatakan, keterlibatan emosional Muslim di seluruh dunia juga mempengaruhi kasus ini semakin berkembang. Ditambah dengan peralihan kekuasaan rezim lama atas Amerika dan NATO ke Taliban menjadikan isu ini semakin luas diperbincangkan.


“Diksi Taliban kalau di media itu kan kelompok radikal, konservatif, dan lan-lain. Dan itu menimbulkan ketakutan bagi banyak orang, apalagi bila melihat sejarah lamanya pada 1996-2001,” kata Mukafi Niam.


Diterangkannya, pada tahun 1996-2001 Taliban secara fundamentalis menerapkan hukum syariat Islam. Hukum itu masuk ke semua lini, termasuk pada hak-hak sipil wanita. Mereka dikekang, juga dilarang bersekolah, lapangan kerjanya dibatasi, dan harus menutupi tubuh dengan burka di tempat umum. Pun pada laki-laki, mereka diwajibkan untuk memelihara jenggot.


“Pokoknya tafsir-tafsir agama yang sangat konservatif,” terang Niam.


Ia menambahkan, Amerika Serikat mulai menginvasi Afghanistan pada 2001 setelah Taliban menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden yang bersembunyi di Afghanistan. Osama dianggap sebagai dalang di balik serangan paling mematikan di AS. 


“Akhirnya rezim Taliban era awal itu jatuh, karena diserang oleh Amerika. Sampai akhirnya Amerikanya yang jatuh (kembali) tahun 2021 ini,” tambahnya.


Hal yang dikhawatirkan khalayak ramai, terkait kemenangan Taliban menguasai kembali Afghanistan adalah dampak dan pengaruhnya bagi Indonesia. Dipungkiri atau tidak kelompok-kelompok konservatif yang menghendaki berdirinya negara Islam membingkai kemenangan Taliban di Afghanistan sebagai keberhasilan memperjuangkan negara Syariah.


Akan tetapi, menurut Niam, jika melihat konteks Indonesia dengan struktur negara yang sudah kokoh, kelompok-kelompok konservatif tersebut terlampau kecil. Sebab, di Indonesia suku atau kalangan manapun telah mengidentifikasi dirinya sebagai warga negara Indonesia. Sehingga kalua pun ada euforia atau glorifikasi di Afghanistan oleh Taliban, diharapkan tidak sampai memicu kekacauan di Indonesia.


“Kita (Indonesia) menyadari suku apapun, semuanya sudah mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia. Kita Islam, ya orang Indonesia yang Islam, itu beda sekali konteksnya dengan apa yang terjadi di Taliban,” ujarnya.


Pada kesempatan yang sama, Pakar Politik Timur Tengah Muhammad Najih Arromdloni mengatakan, sejak kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab, Afghanistan sudah menjadi sebuah tanah yang memang penuh dengan konflik, sebagaimana tanah Syam yang tidak pernah sepi dari peperangan. Pun Palestina yang masih terus dijajah oleh Israel hingga saat ini.


“Jadi, kita tidak boleh meremehkan potensi bahaya sekecil apapun. Itu yang perlu jadi poin,” kata Gus Najih.


Terkait hai itu, pernyataan bahwa Taliban tidak akan membangunkan kelompok-kelompok radikalis, baginya, terlalu dini dan gegabah. Karena bagaimana pun sikap antisipatif tetap harus diperkuat dalam menghadapi bahaya sekecil apapun.


“Karenanya saya tidak over-confident dengan mengatakan bahwa Taliban sudah moderat,” imbuh dia.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad