Saat Orang-orang Afghanistan Berupaya Damai, Termasuk Mendirikan NU
Kamis, 19 Agustus 2021 | 05:30 WIB
Demonstrasi terjadi di Kota Jalalabad, massa berkumpul mengibarkan bendera Republik Afghanistan menentang Taliban. (Foto: @Iqbal_Kholidi)
Jakarta, NU Online
Upaya keras para ulama di Afghanistan menemui ujung yang pahit ketika konflik dan perang saudara tak pernah usai serta pada akhirnya kelompok Taliban berhasil kembali menguasai negara setelah terakhir berkuasa pada 2001 sebelum diserbu pasukan AS dan NATO.
Inisiatif mendirikan Nahdlatul Ulama muncul dari orang-orang Afghanistan sendiri setelah para pemimpin kelompok yang bertikai di Afghanistan dipertemukan pada 2011. Orang-orang yang dulu terlibat dalam proses perundingan sangat terinspirasi dengan inisiatif NU sehingga mereka ngotot untuk mendirikan NU Afghanistan (NUA) sendiri.
Menurut para pemimpin kelompok di Afghanistan tersebut, NU sebagai organisasi Islam terbesar dapat merawat masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku untuk senantiasa berdamai dan bersatu. Inspirasi tersebut akan mereka coba terapkan di Afghanistan.
Namun, menurut Katib ‘Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang pernah diwawancarai secara khusus oleh NU Online terkait konflik Afghanistan, proses penyemaian perdamaian berjalan lambat karena ego sektoral dari pemimpin-pemimpin kelompok di Afghanistan.
“Perdamaian itu bertentangan dengan kekuatan-kekuatan besar yang memiliki kepentingan di Afghanistan, maka proses ini kemudian dijegal-jegal,” ungkap Gus Yahya yang aktif melakukan perundingan damai di sejumlah negara.
Kekuatan besar yang dimaksud Gus Yahya ialah kekuatan dari luar seperti kepentingan Amerika Serikat, Rusia, dan China. Sedangkan kekuatan dari dalam ialah para warlord, yaitu panglima perang yang saling bertikai dan bersaing.
Menurut salah seorang Jurnalis Tempo, Qaris Tajudin yang meliput langsung ke Afghanistan, para warlord di Afghanistan tidak loyal dengan kekuasaan mana pun. Mereka memilih jalan pragmatis, tergantung siapa yang mau membayar.
“Ini yang buat kekuasaan di Afghan fragile (pecah). Siapa yang kuat lobby dan duitnya ke para warlord akan dapat dukungan. Di Afghan, konflik adalah bisnis,” kata Qaris lewat twitternya.
“Ada yang nanya, apa sih yang buat masyarakat Afghan begitu mudah dikoyak? Ada banyak faktor, tentu. Eksternal dan internal, tapi ada yang sangat penting: PENDIDIKAN,” tegas Qaris.
Ini yg buat kekuasaan di Afghan fragile. Siapa yg kuat lobby dan duitnya ke para warlord akan dapat dukungan. Di Afghan, konflik adalah bisnis.
— Qaris Tajudin (@QarisT) August 17, 2021
Tokoh NU yang berhasil mempertemukan para pemimpin kelompok Afghanistan untuk duduk bersama di meja perundingan pada 2011, As’ad Said Ali menjelaskan, setelah berhasil mengendalikan pemerintahan, kelompok Taliban memerlukan legitimasi internasional.
“Mereka membutuhkan pengakuan dari negara Muslim lainnya. Dalam hal ini, mereka menyebut 4 negara sebagai prioritas yaitu Indonesia, Arab Saudi, Iran, dan Turki,” ungkap As’ad Said Ali lewat facebooknya.
Menurut penulis buku Al-Qaeda itu, Indonesia dianggap sebagai negara muslim sunni moderat yang berpengalaman mengelola persatuan nasional di tengah beragam suku bangsa dan potensi ekonominya besar.
As’ad menegaskan, memenangkan perang lebih mudah dibanding membangun kembali persatuan bangsa. Tantangan yang dihadapi oleh Afganistan mendatang adalah memulihkan keamanan dan ketertiban, rekonsiliasi nasional serta pengakuan dunia.
“Imarah Islam Afganistan berbeda dengan khilafah ala ISIS, karena tidak menganggap sebagai penguasa dunia Islam. Tetapi para pendukung sistem khilafah mungkin akan menjadikannya sebagai isu politik untuk membangkitkan perlawanan di negara Islam lainnya,” ucap As’ad.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan