Saatnya Dai Nahdliyin Ikuti Lima Pola Dakwah Gus Nadir
Sabtu, 19 Desember 2020 | 13:15 WIB
KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) saat mengisi seminar internasional LD PWNU Jabar. (Foto: tangkapan layar)
Jakarta, NU Online
Banjirnya informasi di media sosial akhir-akhir ini membuat masyarakat dilanda kebingungan dengan berbenturannya beragam isu yang beredar tanpa henti. Maka inilah yang menjadi tugas para dai nahdliyin agar mampu menjadi mercusuar keilmuan yang moderat dalam menyampaikan dan mengajak masyarakat memahami agama yang ramah.
Hal ini disampaikan oleh Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) saat menjadi narasumber dalam Webinar Internasional Dakwah yang diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah (LD) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Selasa (15/12).
“Dakwah dalam konteks masa kini sebisa mungkin bagi para muballighin untuk mulai maju merespon pelbagai permasalahan tidak hanya ke dalam badan organisasi saja. Berbicara tentang keimanan, ketaqwaan dan islam rahmatan lil alamiin bukan tidak lagi relevan diperbincangkan saat ini,” ujarnya seperti dilihat NU Online, Jumat (18/12).
“Akan tetapi, alangkah baiknya jika kita mulai reaktif dengan isu-isu yang memang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat di akar rumput sana,” sambung Gus Nadir, sapaan akrabnya.
Terdapat lima pola relasi dakwah yang harus dipahami dai daiyah. Pertama, relasi Islam dengan negara.”Dalam masalah ini PBNU sendiri sudah menyoroti isu-isu kebangsaan dengan mengambil rujukan fiqih siyasah seperti yang sudah diputuskan dalam Muktamar dan Munas NU,” ungkap Gus Nadir.
“Kedua, relasi Islam dengan non muslim. Permasalahan ini begitu hangat di kalangan masyarakat bagaimana mereka menyikapi fiqih amaliyah yang rata-rata masih kaku,” kata Gus Nadir dalam webinar bertajuk ‘Penguatan Kapasitas Dai Aswaja An-Nahdliyyah’.
Ia menambahkan, umat harus diajarkan untuk bersikap toleransi dengan tetap berpegang teguh pada akidah. Walaupun memang dalam hal muamalah pasti akan terjadi fleksibilitas aplikasi Islam yang harus dipahami lebih jauh oleh umat.
Dalam tinjauan hukum Islam, lanjut Gus Nadir, umat harus memahami bahwa penetapan hukum dalam Islam harus melalui beberapa tahapan dan banyak rujukan keilmuan.”Jadi hukum Islam tidak bisa ditetapkan dengan cara yang instan,” tuturnya.
Ketiga, relasi Islam dengan budaya. Kita mengetahui bahwa Islam Nusantara merupakan jati diri beragama Islam di Indonesia. Akan tetapi, hal ini masih disalahpahami masyarakat sebagai sebuah ajaran yang sesat.
“Maka dari itu, para pendakwah harus mulai berani membicarakan persoalan ini di mimbar-mimbar Jumat dan majlis taklim,” tutur penulis buku Saring sebelum Sharing ini.
Keempat, relasi Islam dengan ketimpangan sosial. “Para pendakwah kita harus lebih responsif dengan isu-isu sosial. Terlebih di antara mereka yang mendapatkan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini harus benar-banar kita kawal,” tegasnya.
Oleh karena itu, Gus Nadir menegaskan, para pendakwah dituntut segera bertransformasi memikirkan isu-isu global dalam membina umat.
“Pont terakhir, relasi Islam dengan pemikiran keislaman. Dalam hal ini khazanah keilmuan NU itu begitu luar biasa umat harus mengetahui bagaimana keindahan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, mufassirin, dan muhadditsin,” paparnya.
Maka jangan sampai pembahasan fiqh muqaran (Fikih perbandingan) ini dihindari para pendakwah. Karena sejatinya perbedaan pandangan para ulama adalah sebuah keniscayaan.
“Semua ini didasarkan supaya umat tidak merasa paling benar dan kagetan serta mengajarkan mereka menjadi umat yang wasathiyah,” pungkas Gus Nadir.
Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori