Internasional

Xenophon Dideportasi: Agenda Geopolitik yang Gagal?

Senin, 18 Februari 2013 | 13:16 WIB

Jakarta, NU Online
Senator  Nick Xenophon telah kembali ke Australia setelah dideportasi dari Malaysia. Ia sempat ditahan di bandara Kuala Lumpur kemarin (17/2) dan dilarang masuk wilayah Malaysia karena dianggap mengancam keamanan. 
<>
Seperti dilaporkan Kantor radio Australia ABC News, Xenophon yang sering berbicara lantang mengenai masalah hak asasi manusia di Malaysia itu naik pesawat pulang tadi pagi (18/2). 

Dilaporkan oleh berbagai media di tanah air, Xenophon adalah anggota sebuah delegasi Australia yang akan bertemu pemimpin oposisi Anwar Ibrahim, serta menteri Malaysia yang bertanggung jawab atas urusan parlemen, Mohammed Nazri, dan anggota kelompok Bersih, Koalisi untuk Pemilu Bersih dan Adil. 

Xenopone diberitakan bermaksud membicarakan isu transparansi untuk pemilu Malaysia yang harus dilaksanakan sebelum akhir Juni. Setelah kepulangannya di Adelaide, Senator Xenophon mendesak pemerintah Australia mengambil tindakan menyangkut apa yang disebutnya sebagai proses pemilu yang tidak demokratis di Malaysia (18/2).

Namun menurut penulis dan pengamat geopolitik Amerika berbasis di Bangkok Tony Cartalucci sebagaimana dilansir di Press TV (17/2), kenyataannya Xenophon adalah bagian dari upaya Barat untuk membantu opisisi Malaysia yang didukung Wall Street-London untuk meraih kekuasaan sebagai bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas untuk membendung Cina di kawasan Asia Tenggara.

Sudah mafhum bahwa Koalisi Bersih telah didanai oleh Departemen Luar Negeri AS melalui National Endowment for Democracy (NED) serta Open Society milik George Soros . 

Menurut laporan Malaysia Insider, pada 27 Juni 2011, figure utama Koalisi Bersih Ambiga Sreenevassan "mengakui Bersih menerima sejumlah uang dari dua organisasi AS -National Democratic Institute (NDI) dan Open Society Institute (OSI) - untuk proyek-proyek lainnya, yang ia nyatakan sebagai tidak terkait dengan demonstrasi 9 Juli (2011)”.

Kunjungan Xenophon di Malaysia dan rencana pertemuan dengan Anwar Ibrahim, menurut Cartalucci, pada kenyataannya menunjukkan campur tangan Australia terhadap urusan internal di negara jiran tersebut.

Juga sudah lazim diketahui, Anwar Ibrahim adalah Ketua Komite Pembangunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 1998. Ia juga seorang konsultan Bank Dunia, dan panelis pada “Democracy Award” di National Endowment for Democracy yang sehaluan dengan kelompok Neo-Konservatif, serta panelis pada NED donation ceremony-  anak perusahaan dari organisasi yang sama yang mendanai dan menyokong Bersih dalam mendukung  agenda “pemilu yang bersih dan adil". 

Sejumlah pernyataan oleh anggota Bersih sendiri menyatakan bahwa Anwar Ibrahim sedang “membajak” gerakan mereka karena menerima dukungan politik luar negeri dan asing. 

Dunia Arab dan Malaysia
Dalam dua tahun terakhir, “promosi demokrasi” di berbagai negara Arab seperti Mesir, Libya, dan Suriah telah meninggalkan aneka kerusakan dan kekacauan, peningkatan despotisme dan ekstrimis di belakangnya. Langkah pencegahan serupa juga dilakukan oleh Rusia awal tahun lalu, dan kini diikuti jejaknya oleh Malaysia. 

Kunjungan Xenophon ke Malaysia disinyalir tidak sekadar melakukan “pemantauan”, tetapi mengecek elemen-elemen subversif dan kelompok-kelompok lain yang bisa didanai asing yang beroperasi di balik kedok prinsip kejujuran pemilu. 

Lebih lanjut menurut analis geopolitik Amerika ini, pengamat “HAM” dan PBB di berbagai belahan dunia terbukti menyalahgunakan isu HAM untuk menuruti agenda Barat dan kepentingan perusahaan-pemodal besar. 

Pernyataan ini juga didukung oleh Seymour M. Hersh, wartawan pemenang Pulitzer dalam artikelnya berjudul The Redireciton yang pernah ditulis di New Yorker (5/3/2007) dan artikel To Check Syria, U.S. Explores Bond With Muslim Brothers yang ditulis Jay Salomon wartawan Wall Street Journal (25/7/2007). 

Mengacu pada peristiwa tahun 2007, keduanya mengungkapkan bahwa negara-negara Barat ikut berencana menempatkan ekstrimis bersenjata, dan para despotis serta pelaku kekerasan yang kini berlangsung di seluruh Dunia Arab bukanlah hasil konsekuensi tak terencana.

Sebaliknya, keberadaan mereka benar-benar sesuai agenda yang telah direncanakan sebelumnya. Rencana serupa dengan menggunakan gerakan demokrasi-semu dan bahkan kekerasan di Asia Tenggara juga pernah dilakukan untuk melayani keinginan Barat dalam memprovokasi pergantian rezim. 

Ini semua terjadi di Malaysia, Myanmar dan Thailand. Begitu pula rencana menggunakan Asia Tenggara untuk melawan Cina ini juga terdokumentasikan sejak akhir tahun 1990-an.

Di Malaysia, sebagai seorang Senator Australia, Xenophon telah melampaui mandat dan tanggung jawabnya untuk mewakili kepentingan rakyatnya di  Australia, melanggar kedaulatan Malaysia, dan membuang-buang waktu dan sumber daya rakyat Australia dengan mencampuri kedaulatan bangsa negara lain. 

Dewasa ini, para kritikus geopolitik mengungkapkan bahwa "demokrasi" dan "hak asasi manusia “ hanyalah festival, yang digunakan negara-negara Barat untuk menutupi kedok neo-imperialisme. Paling tidak ini terlihat dari dukungan Barat terhadap aksi kelompok pelaku kekerasan yang melakukan pembunuhan massal warga sipil di Libya dan Suriah. 

Dalam konteks Malaysia, analis geopolitik ini mempertanyakan bagaimana mungkin Anwar Ibrahim dan Koalisi Bersih “mempromosikan demokrasi” namun pada saat yang sama mereka menerima uang tunai dan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan yang menopang kekerasan dan despotisme di luar negeri. 

Kepentingan apa di balik kehadiran Senator Nick Xenophon yang menggunakan uang dan reputasi Australia untuk membantu dan “kampanye” orang-orang di Malaysia?

Redaktur: Hamzah Sahal
Kontributor: Mh Nurul Huda


Terkait