KH Abdul Halim dan Ikhtiar Membangun Kemandirian Ekonomi Nahdliyin
Jumat, 28 April 2023 | 09:30 WIB
Para kiai pesantren sarungan itu, tidak melulu memikirkan akhirat di atas dunia. Begitu juga sebaliknya. Mereka berpijak kepada doa yang selalu dibaca selepas shalat, selamat dunia dan akhirat. Mereka menyeimbangkan keduanya dalam waktu bersamaan.
Keseimbangan itu bisa misalnya terlihat pada awal abad 20. Mereka tidak hanya tinggal di pesantren dan mengajar kitab-kitab kuning, tapi sebagaimana anak bangsa lain, berupaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Karena trend masa itu adalah perjuangan melalui organisasi, para kiai pesantren pun mendirikannya. Mereka menamakannya Nahdlatul Ulama pada 1926.
Setelah berdiri, organisasi itu mereka atur sesuai dengan ilmu administrasi modern. Berbagai mekanisme organisasi, pencatatan, hingga surat kabar mengiringi organisasi yang mereka jalankan. Pada tiap muktamar, uang masuk dan keluar dicatat dengan rinci dan dilaporkan ke khalayak.
Tiga tahun berdiri, para ulama di organisasi tersebut memikirkan bagaimana supaya anggotanya mandiri secara ekonomi. Pada 1929 mereka mendirikan Coperatie Kaoem Moeslimin (CKM).
Pelopor CKM adalah KH Abdul Halim, salah seorang pengurus Hoofdbestuur (pengurus besar dalam istilah sekarang) NU asal Majalengka, Jawa Barat.
Menurut Choirul Anam pada buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, barang-barang yang diperjualbelikan di CKM ketika itu berupa kebutuhan primer (kebutuhan sehari-han) seperti: beras, gula, kopi, rokok, pasta gigi, sabun, kacang, minyak dan sebagainya.
Namun yang menarik, menurut Anam, dari usaha ini adalah peraturan dasar CKM yang, kala itu, sudah disahkan sebagai model koperasi NU di tempat-tempat lain. Ini pertanda langkah awal menuju sosial ekonomi sudah mulai terlihat di tahun 1929 itu.
Peraturan CKM mengenai pembagian keuntungan, misalnya, dibagi lima bagian: 40 persen untuk pegawai (penjual), 15 persen untuk pemilik modal, 25 persen untuk menambah kapital (berarti pemilik modal mendapat bagian 40 persen), 5 persen untuk juru komisi (juru tulis) dan 15 persen untuk jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
“Apa yang terurai di atas, baik mengenai pendidikan, masalah sosial maupun dakwah, adalah sekadar contoh bagi usaha-usaha yang ditempuh NU di masa perintisannya. Dengan kata lain, pada awal sejarah pertumbuhannya, NU telah membuktikan pengabdiannya kepada agama dan masyarakat baik di bidang pendidikan, sosial maupun dakwah. Selain juga berhasil mengemban tugas sebagai pemelihara kelestarian paham Ahlussunah wal Jama’ah ‘ala mazhabil arba’ah,” tulis Anam dalam buku itu.
Siapakah KH Abdul Halim Leuwimunding?
Ia dilahirkan pada Juni 1898 dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Santamah. Para buyutnya adalah tokoh-tokoh setempat, yaitu Buyut Kreteg, Buyut Liuh, dan Buyut Kedung Kertagam. Setelah itu, Abdul Halim belajar mengaji di Pesantren Trajaya Majalengka, kemudian meneruskan ke Pesantren Kedungwuni, Majalengka, dan dilanjutkan di Pesantren Kempek, Cirebon.
Sebagaimana tokoh-tokoh di masanya yang berkelana sampai Makkah untuk menuntut ilmu, Abdul Halim juga menempuh hal yang sama. Ini dilakukan ketika ia baru berusia 16 tahun, yaitu pada sekitar tahun 1914.
Sebelumnya dua pamannya telah berada di sana, yaitu H. Ali dan H. Jen. Di Makkah Abdul Halim bertemu dan berkawan baik dengan K.H.Abdul Wahab Hasbullah. Ia kemudian pulang ke tanah asalnya pada 1917, dan satu tahun kemudian ia mencari ilmu di pesantren yang ada di Jawa Timur.
Abdul Halim memutuskan berangkat ke Tebuireng, Jombang, yang saat itu diasuh oleh kiai yang sangat dihormati di seluruh Jawa dan Madura yaitu KH Hasyim Asy'ari. Dengan demikian, sejak awal Abdul Halim sudah memiliki jaringan dengan pendiri NU, baik dengan KH Abdul Wahab maupun KH Hasyim Asy'ari.
KH Abdul Halim kemudian menjadi salah satu peserta diskusi-diskusi dalam perbincangan pendirian NU, dan salah seorang yang hadir dalam pendirian NU pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya. Ia sendiri kemudian mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai Katib Tsani dalam kepengurusan NU awal itu.
KH Abdul Halim mendapat amanah untuk mengembangkan NU di. Ia bersama kiai-kiai lain seperti KH Abbas dan keluarga Pesantren Buntet, KH Mas Abdurrahman dan masih banyak lagi yang lain menyerbarkan NU di Jawa Barat.
Semasa di Surabaya, KH Abdul Halim tidak memiliki pesantren. Atas saran KH Wahab Hasbullah pada sebuah pertemuan di Bandung pada 1954, KH Abdul Halim mendirikan pusat pendidikan di tanah kelahirannya, Majalengka. Pada tahu 1963 ia mendirikan dan mengembangkan Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Ulama (MI-NU) yang menjadi madrsah dinyah pertama di Majalengka. Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan ini bertambah dengan Madrasah Tsanawiyah Leuwimunding di bawah payung Yayasan Sabilul Halim.
Penulis: Abdullah Alawi