3 Aspek yang Membuat Banyak Pelaku Judi Online dari Kalangan Menengah ke Bawah
Kamis, 1 Agustus 2024 | 08:50 WIB
Semarang, NU Online
Judi online kian marak terjadi di Tanah Air. Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) pada Juni 2024 lalu, terdapat sekitar 4 juta pelaku judi online di Indonesia. Mirisnya, 80 persen di antaranya berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Hal ini menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat, termasuk Guru besar Antropologi Fakuktas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Misbah Zulfa Elizabeth.
Menurut Elizabeth, pada konteks judi online, tidak bisa dipisahkan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah dengan tiga aspek, yakni hiburan, memanipulasi keadaan, serta ingin membuka harapan baru. Ia juga menilai bahwa tidak sedikit masyarakat saat ini yang dapat membedakan mana dunia virtual dan dunia nyata.
"Ketika awal-awal kita mengenal media sosial kan sudah banyak sekali korban (judi online). Nah, saya melihat dari fenomena itu, kita harus melihat realitas masyarakat bahwa adanya kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi itu membuat kita berada dalam dunia yang 'orang tidak menyadari' bahwa dua dunia itu berbeda. Jadi dunia fakfual dan virtual," tuturnya kepada NU Online Jateng, Rabu (31/7/2024).
Menurutnya, masyarakat banyak yang tidak menyadari bahwa mereka berada di dunia virtual, sehingga memandang seolah-olah dunia maya sama halnya dengan dunia nyata. Padahal, ada kesenjangan di antara dua hal tersebut.
"Contoh sederhananya saja, misalnya kita mendengar berita gembira, terus kemudian kita menunjukkan emosi tepuk tangan, kemudian ketawa
Padahal faktualnya kita tidak tepuk tangan babar blas, kita tidak ketawa babar blas, tapi orang tidak membayangkan itu dunia yang berbeda. Nah dalam hal seperti itu saja kita sudah mempunyai kesenjangan," kata dia.
Pada konteks ini, lanjut Elizabeth, judi merupakan fenomena budaya yang erat kaitannya dengan peluang dan kecurangan, serta sudah menjadi budaya manusia yang sudah ada sejak dulu. Hanya saja, judi online berbeda wujud dengan judi pada umumnya.
Meskipun tidak bisa melihat 'lawan main' saat melakukan judi online, akan tetapi secara nalar, manusia dapat membayangkan bagaimana orang mempunyai strategi untuk mendapatkan keuntungan dengan berjudi.
"Ketika ada judi online, orang membayangkan judinya seperti judi offline. Padahal di sana itu sistem," kata dia.
"Nah, judi online kan seperti itu ya, dibayangkan oleh orang-orang, karena sistem budayanya yang tidak faham tentang perbedaan dunia virtual dan faktual itu dikirain itu ya seperti itu, ada yang dapat. Ketika dia berharap karena ada yang dapat, dia mengharapkan dari sekian juta probabilitas, dia sekali akan masuk ke dia kan begitu," terangnya.
Kemudian, menurut Elizabeth, judi online juga dilakukan oleh pelakunya untuk hiburan. Sebab, tak sedikit masyarakat yang terus-terusan didera kemiskinan. Sehingga, dengan melakukan judi online, pelaku akan merasa terhibur apalagi jika mereka mendapatkan keuntungan.
"Mungkin kalau kita bicara tentang sejarah sosial dan budaya kita tentang membuat kita begitu terpuruk sebegitu lama karena didera kemiskinan, keterbelakangan, akhirnya saya melihat bahwa judi ini menjadi salah satu point of healing, jadi hiburan mereka," ujarnya.
Selanjutnya adalah motif untuk memanipulasi hidup atau keadaan. Seorang pelaku judi online kerap kali merasa terpuruk dengan keadaan mereka. Oleh sebab itu, melalui bermain judi online, mereka dapat memanipulasi keadaan seakan-akan hidup mereka menjadi berhasil dengan melakukan judi online.
"Kemudian juga life manipulation, memanipulasi hidup, hidup yang soro gitu, itu kepingin dihibur lah dengan cara seperti itu, dan kemudian dia mengharap. Hal ini kan mengerikan sekali, kalau kita melihat dalam struktur yang seperti itu," kata dia.
Oleh sebab itu, Elizabeth menilai bahwa fenomena judi online ini menjadi perhatian bersama agar tidak banyak korban yang terjerat.