Jateng

GP Ansor Jateng Soroti Fenomena Gus dan Dakwah Kiai Muda Pesantren yang Semestinya

Ahad, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

GP Ansor Jateng Soroti Fenomena Gus dan Dakwah Kiai Muda Pesantren yang Semestinya

Halaqah Pesantren Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah di pesantren Asshodiqiyah Semarang

Semarang, NU Online Jateng -

Pagi itu, halaman Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang tampak lebih ramai dari biasanya. Para santri mondar-mandir menata kursi, memasang banner, dan menyambut rombongan tamu yang mulai berdatangan. Di gedung aula yang sederhana namun hangat, sebuah forum yang sejak awal terasa “tidak biasa” akan segera dimulai: Halaqah Pesantren Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah, Kamis (11/12/2025).

 

Sejak awal, panitia sudah memberi sinyal bahwa kajian kali ini akan membahas isu yang sensitif tetapi mendesak. Di tengah hiruk pikuk dunia dakwah digital, PW GP Ansor Jateng memilih untuk membahas fenomena yang belakangan jadi sorotan: “fenomena gus-gusan” munculnya figur-figur muda yang mengaku sebagai “gus” namun lebih mengejar sensasi ketimbang esensi.

 

Banyak di antara hadirin, terutama para santri muda, tampak penasaran. Tidak sedikit yang selama ini melihat langsung betapa “dakwah viral” di TikTok dan Instagram telah mendominasi ruang publik keagamaan di Indonesia. 

 

Di forum yang tenang dan ilmiah inilah para penggiat pesantren mencoba merumuskan kembali arah dakwah dan pendidikan karakter generasi mendatang.

 

Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah, Muhamad Shidqon Prabowo membuka pembahasan dengan nada yang hati-hati namun tegas. Ia tahu tema ini tidak mudah. Gelar “Gus”, yang dalam tradisi pesantren merujuk pada putra kiai, kerap dipandang sakral. Namun ironinya, gelar itu kini justru semakin sering “dijual”.

 

“Banyak yang naik daun bukan karena kedalaman ilmu, tetapi karena gaya, tampang, dan konten viral yang lebih mirip stand-up comedy daripada dakwah,” tuturnya.

 

Beberapa peserta mengangguk. Mereka tentu ingat bagaimana sejumlah video viral memperlihatkan pendakwah muda yang bercanda tanpa batas, bahkan melakukan perilaku yang tidak pantas di panggung dakwah. 

 

“Ini bukan hanya soal fiqih, tapi soal adab. Soal keikhlasan yang sejak dulu menjadi darah pesantren,” tuturnya.

 

Ada kalimat yang mencuri perhatian ‘Inilah agama pasar,’ katanya mengutip sosiolog Moeslim Abdurrahman. Agama menjadi komoditas yang harus laku dijual kepada audiens. Dakwah pun menyesuaikan selera publik, bukan tuntunan wahyu.

 

Gus Dur Sudah Lama Mengingatkan 

Nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali disebut. Bukan untuk nostalgia, tapi untuk mengingatkan akar kritik ini sudah ada puluhan tahun lalu.

 

Gus Dur pernah menegur keras gejala “kiai muda” yang terjebak formalitas dan kemewahan pesantren. Ia menolak penghormatan berlebihan dan menilai sebagian kiai muda membangun jarak yang terlalu tinggi dengan umat. Bagi Gus Dur, pesantren adalah ruang pelayanan dan kesederhanaan bukan feodalisme.

 

“Kalau kiai muda tampil glamor dan lebih sibuk menata citra ketimbang membangun ilmu, itu bertentangan dengan ruh pendirian pesantren sejak masa kolonial,” ujar Shidqon menekankan.

 

Para santri di deretan depan tampak mencatat dengan seksama. Kritik ini terasa masuk akal, terutama ketika dibandingkan dengan kisah para ulama muda masa lalu dari Syekh Nawawi hingga KH Hasyim Asy’ari yang hidupnya diwarnai perjuangan, puasa, dan kehausan ilmu, bukan popularitas.

 

Ketika pembahasan masuk pada aspek perilaku pendakwah muda, suasana ruang semakin serius. Shidqon mengisahkan sebuah contoh yang ramai dibicarakan publik: seorang “gus” memegang tangan perempuan bukan mahram lalu membenarkannya dengan alasan candaan.

 

“Kalau adab sudah ditembus atas nama lucu-lucuan, apa yang tersisa dari dakwah?” ujarnya.

 

Dalam Islam, humor bukan sesuatu yang tabu. Rasulullah pun bercanda. Tetapi humor beliau tidak pernah merendahkan siapa pun, tidak pernah melanggar batas syariat, dan selalu mengandung nilai.

 

Di sinilah letak perbedaannya, canda dakwah hari ini sering menjadi tujuan, bukan metode. Akibatnya, forum dakwah berubah menjadi panggung hiburan. Tawa menjadi puncak interaksi, bukan kesadaran.

 

Kalimat Al-Ghazali dari Ihya’ Ulumuddin kembali mengemuka: “Tertawalah sekedarnya, sebab terlalu banyak tertawa mematikan hati.”

 

Di mana Peran Kiai Muda Pesantren yang Sesungguhnya? 

Di tengah kritik itu, Shidqon justru menekankan bahwa kiai muda ideal adalah harapan pesantren, bukan masalahnya. Mereka adalah figur yang dekat dengan santri, paham dunia digital, tetapi tetap kuat dalam kitab kuning dan akhlak.

 

Peran seorang kiai muda tidak hanya sebagai guru (mudarris) tetapi juga pengasuh (murabbi), penasihat (mursyid), dan pembentuk akhlak (muaddib). Mereka dituntut untuk menjadi teladan sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh popularitas atau konten viral.

 

“Generasi santri tidak dibentuk oleh ceramah lucu, tetapi oleh teladan sehari-hari. Dari cara kiai bangun Subuh, cara beliau makan, hingga cara beliau menyelesaikan masalah,” kata Shidqon. Bagi pesantren, akhlak bukan teori, ia adalah atmosfer.

 

Sesi kedua dibawakan oleh Kepala Satuan Koordinator Wilayah (Satkorwil) Banser Jawa tengah, Muhammad Azil Maskur, sosok yang dikenal aktif dalam kajian moderasi beragama. Nada pembicaraannya berbeda, ia membawa data, grafik, dan angka-angka yang membuat suasana forum terasa mencemaskan.

 

Menurut pakar hukum dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini, Indonesia saat ini berada di ambang bonus demografi, dengan puncaknya pada 2030. Namun bonus itu bisa berubah menjadi bencana bila generasi mudanya tidak memiliki karakter yang kuat.

 

“Angka-angka survei menunjukkan arah yang mengkhawatirkan,” ujarnya sambil membuka slide.

 

• 1 dari 3 mahasiswa memiliki tingkat toleransi rendah.

• 52 persen pelajar setuju tindakan radikal untuk solidaritas agama.

• 28,7 persen responden tidak menerima pemimpin dari golongan lain.

• Indeks toleransi nasional hanya 60,6, masuk zona kewaspadaan.

 

Seseorang di barisan tengah terlihat menghela napas. Data itu bukan lagi sekadar wacana ia adalah potret masa depan Indonesia bila moderasi beragama tidak segera diperkuat di sekolah dan pesantren.

 

“Moderasi beragama bukan proyek pemerintah, Ini kewajiban moral seluruh elemen bangsa,” tegas Azil.

 

Moderasi Masuk Kurikulum: Dari Pesantren untuk Indonesia

Azil menjelaskan bahwa nilai-nilai moderasi beragama toleransi, cinta tanah air, komitmen kebangsaan, dan anti-kekerasan sudah menjadi bagian dari Standar Kompetensi Lulusan sesuai Permendikbudristek. Namun implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal.

 

“Anak-anak kita pintar membaca ayat, tetapi belum tentu paham bagaimana menerjemahkannya untuk hidup berdampingan,” katanya.

 

Dalam konteks ini, pesantren dan kiai muda memiliki peran strategis. Mereka bisa membimbing generasi muda agar memahami Islam yang ramah, bukan marah; Islam yang merawat, bukan melukai; Islam yang membangun bangsa, bukan memecahnya.

 

Selengkapnya klik di sini


Terkait