Jakarta, NU Online
Baru-baru ini media sosial diramaikan dengan pembahasan penggunaan oralit untuk pengganti sahur. Beragam tanggapan mengenai hal ini pun bermunculan.
Ahli Gizi Masyarakat sekaligus Edukator Kesehatan PB IDI, dr Tan Shot Yen mengatakan oralit seharusnya tidak digunakan oleh orang yang sehat karena oralit adalah produk obat yang digunakan untuk mengganti cairan tubuh dan elektrolit yang hilang karena diare atau muntah-muntah.
"Sejauh ini tidak ada bukti kaitan oralit untuk rehidrasi di masa Ramadhan ya. Kalau hanya berdasarkan pengalaman masing-masing orang, itu tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya dalam Media Briefing Virtual PB IDI, Jumat (31/3/2023) lalu.
Dilansir dari Alodokter, Oralit adalah obat untuk menggantikan cairan dan elektrolit tubuh yang hilang akibat diare, muntah, demam, atau kondisi lain. Oralit bisa dikonsumsi oleh bayi, anak-anak, maupun orang dewasa.
Namun, konsumsi oralit saat sahur bukan hal yang tepat untuk mencegah dehidrasi saat puasa. Oralit yang dikonsumsi tidak untuk peruntukannya justru bisa berbahaya bagi kesehatan karena kandungan gula dan garam yang tinggi.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengemukakan, mengonsumsi obat oralit di luar indikasi penggunaan dapat memicu perut kembung akibat gangguan gerakan usus di dalam tubuh.
"Oralit adalah larutan regidrasi oral yang merupakan jenis obat untuk mengatasi orang diare atau muntah, yang bisa berakibat dehidrasi dan terganggu elektrolitnya," kata Siti Nadia Tarmizi di Jakarta.
Selain itu, kelebihan natrium dalam sistem pencernaan manusia berisiko mengganggu fungsi organ atau sistem tubuh lainnya.
Nadia mengimbau masyarakat untuk tidak memborong oralit di apotek, minimarket, maupun fasilitas penyedia layanan obat lainnya, karena berisiko mengganggu ketersediaan obat bagi mereka yang membutuhkan.
"Berpuasa sebenarnya merupakan suatu kebaikan bagi tubuh dan sudah banyak kajian terkait manfaat puasa dan kesehatan. Jadi tetap gunakan oralit sesuai peruntukannya," katanya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad