Cuti Melahirkan 6 Bulan di UU KIA, Bagaimana Dampak bagi Ibu dan Bayi?
Sabtu, 8 Juni 2024 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Salah satu poin penting dalam Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) fase 1.000 hari pertama kehidupan yang disahkan DPR RI adalah cuti bagi ibu hamil paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya. Jika terdapat kondisi khusus, dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter sesuai bunyi Pasal 4 ayat (3).
Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi atau Obgyn, Jihan Arabikum mengatakan, dari sisi kesehatan, aturan tersebut membantu peran ibu dan bayi yang mengalami masalah atau komplikasi saat persalinan.
“Perpanjangan cuti sampai 6 bulan akan memberikan dampak pemulihan kesehatan ibu dan bayi yang lebih optimal. Proses menyusui secara eksklusif pun berlangsung lebih optimal,” ujar Dokter Jihan kepada NU Online, Jumat (7/6/2024).
Penelitian yang dipublikasikan BMC Archives of Public Health, konsensus multi pakar menegaskan bahwa cuti melahirkan minimal 6 bulan adalah kebijakan paling efektif dapat meningkatkan keberhasilan air susu ibu (ASI) eksklusif hingga delapan kali lebih tinggi.
“Penelitian intervensi pada tahun 2018 dengan koresponden pegawai kantor dan perusahaan multinasional yang mendapat cuti 6 bulan menunjukkan tingkat keberhasilan ASI dan kepatuhan kerja jauh lebih efektif dibanding ibu yang mendapat cuti kurang dari enam bulan,” ujar Pengurus Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) itu.
Dokter Jihan menambahkan, untuk mencapai keberhasilan menyusui secara eksklusif dalam waktu cuti selama 6 bulan setelah persalinan pastikan ibu mendapat dukungan penuh dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.
“Ibu bisa memberikan ASI secara eksklusif bukan disibukkan dengan hal lain tentang masalah rumah tangga ataupun mengurus anak yang lebih besar dan tidak bisa mengurus diri dan bayi dengan baik,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Ai Maryati Sholihah mengapresiasi langkah DPR dan pemerintah yang menghadirkan UU KIA pada fase 1.000 hari pertama kehidupan.
“Kami melihat tidak semua anak-anak dilahirkan dari keluarga yang wajar namun banyak sekali mereka yang tidak memiliki ayah dan ibu, dari keluarga kondisi berbeda dengan keluarga lain,” tutur Ai Maryati.
Oleh karena itu, Ai berharap UU KIA segera disosialisasikan agar masyarakat mengetahui dan tak salah paham tentang aturan UU KIA untuk ibu dan bayi pada fase 1.000 hari pertama kehidupan.
“Kami berharap UU KIA segera disosialisasikan agar masyarakat mengetahui, terutama hal-hal yang diatur dalam UU tersebut,” jelas Ketua Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ia mengingatkan peraturan pelaksananya nanti sangat penting. Substansi yang diatur dalam peraturan pelaksana itu harus mampu menerjemahkan lebih detail dan rinci mengenai berbagai ketentuan yang diatur dalam UU KIA.
Ai memberi contoh kasus kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tinggi yakni 183 ibu meninggal setiap 100.000 kelahiran. Sementara negeri jiran Malaysia hanya 10 kasus per 100.000 kelahiran.
Kalangan industri juga perlu mengetahui pasal yang di atur dalam UU KIA mengingat sebagian kaum ibu bekerja di sektor swasta, termasuk BUMN terutama terkait hak cuti dan hak-hak lainnya yang harus dilindungi.
“Semoga UU KIA bisa segera dilaksanakan, tentu setelah ada peraturan pemerintahnya dan sebagainya,” tandas Ai Maryati.