Kurma dan air sudah kerap dipromosikan sebagai sunnah nabi ketika berbuka puasa. Air minum mudah ditemui di mana saja, sedangkan kurma saat ini bisa dinikmati di berbagai daerah yang tidak menghasilkannya. Namun, masih ada kaum muslimin yang ketika berbuka puasa tidak berkesempatan untuk mendapatkan kurma. Mereka hanya menemukan makanan-makanan lokal yang biasanya dihidangkan sebagai tradisi setempat ketika berbuka puasa.
Selain itu, penyebutan kurma dan air secara tunggal sebagai menu berbuka puasa memang sangat ideal. Banyak sekali manfaat kesehatan dari kedua bahan makanan ini sebagai pembuka puasa. Namun, pada kenyataannya banyak juga kaum muslimin yang mengonsumsi makanan lainnya baik dengan maupun tanpa kurma dan air ketika berbuka puasa. Oleh karena itu, selain minum air putih dan menyantap kurma, makanan apa yang pernah dikonsumsi nabi ketika berbuka puasa? Apakah Nabi pernah mengonsumsi makanan kombinasi ketika berbuka puasa?
Dalam Kitab Syamail Muhammadiyah karya Imam At-Tirmidzi, terdapat sebuah riwayat tentang makanan yang digunakan oleh Nabi untuk berbuka puasa. Riwayat tersebut berasal dari ‘Aisyah ummul mu’minin yang bercerita tentang lauk pauk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:
كان النبي يأتيني فيقول : أعندك غداء فأقول لا ، فيقول إني صائم، قالت: فأتاني يوماً فقلت يا رسول الله إنه أهديت لنا هدية، قال وما هي ؟ قلت حَيْس قال أما إني أصبحت صائماً :قالت ثم أكل
Artinya: “Nabi datang kepadaku seraya bersabda, ‘Adakah makanan untuk sarapan pagi?’ Aku menjawab, ‘Tidak ada.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Aku shaum.’ ‘Aisyah radliyallahu ‘anha melanjutkan ceritanya: Di lain hari datang pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam padaku, aku berkata kepadanya, ‘Kita diberi hadiah.’ Beliau bersabda, ‘Apa bentuk hadiah itu?’ Aku (‘Aisyah radliyallahu ‘anha) menjawab, ‘Hais.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sebenarnya aku sejak tadi pagi telah shaum.’ Cerita ‘Aisyah selanjutnya, ‘Kemudian Beliau memakan makanan itu.’” (Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan dari Basyar bin Sari dari Sufyan dari Thalhah bin Yahya yang bersumber dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha)
Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah pernah berbuka puasa dengan makanan kombinasi. Meskipun hadits ini sering digunakan untuk menjelaskan tentang puasa sunnah, tetapi ada aspek lain yang dimuat yaitu tentang ketersediaan dan komposisi makanan yang digunakan untuk berbuka puasa.
Makanan yang dimakan oleh Rasulullah saat itu adalah hadiah atau pemberian orang lain. Mirip dengan fenomena buka puasa bersama di masjid-masjid saat ini, biasanya menu buka puasa yang dihidangkan untuk kaum muslimin adalah pemberian dari orang lain. Fenomena tersebut bisa disaksikan pada Bulan Ramadhan maupun bulan lainnya seperti buka puasa bersama saat puasa sunnah di hari Senin dan Kamis.
Mengenai jenisnya, makanan yang disebut dalam hadits di atas adalah Hais. Menurut catatan kaki kitab tersebut, Hais adalah sejenis kue manis yang terbuat dari kurma, minyak samin/mentega, dan keju maupun tepung. Semuanya dicampur dan dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil yang memang sangat cocok sebagai hidangan pembuka saat berbuka puasa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi pernah berbuka puasa dengan makanan kombinasi.
Apabila dilihat dari komposisi bahannya, maka makanan ini terdiri dari campuran yang kaya nutrisi. Kurma kering adalah sumber serat, gula, vitamin, dan mineral. Minyak samin atau mentega merupakan sumber lemak, keju merupakan sumber protein, dan tepung kaya akan karbohidrat. Apabila dilihat dari rasanya, maka rasa dominan yang muncul pada Hais adalah rasa manis.
Rasa manis makanan dan kesederhanaan menjadi esensi dari sunnah nabi ketika berbuka puasa. Oleh karena itu, jika tidak ada kurma maka berbuka puasa dengan makanan yang rasanya manis akan mendapatkan kesunnahan sebagaimana pola berbuka puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara medis, makanan yang manis merupakan makanan yang paling cepat untuk sampai ke hati dan selanjutnya diubah menjadi energi untuk disebarkan ke seluruh tubuh.
Menurut Prof. Dr. Abdul Basith Muhammad As-Sayyid dalam bukunya yang berjudul at-Taghdziyah an-Nabawiyah al-Ghadza bayna ad-Da'i wad Dawa, keistimewaan makanan manis dan air untuk berbuka puasa diuraikan secara khusus. Buku ini diterjemahkan ke dalam Edisi Indonesia dengan judul Pola Makan Rasulullah Makanan Sehat Berkualitas Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam ilmu kedokteran, telah dinyatakan bahwa gula dan air adalah makanan yang paling dibutuhkan oleh tubuh yang berpuasa. Kekurangan gula dalam tubuh dapat menyebabkan sesak di dada dan kekacauan pada syaraf. Sementara kekurangan air dapat membuat tubuh lemah dan tidak mampu menahan serangan penyakit. (Muhammad as-Sayyid, 2006: 163)
Porsi makanan yang disantap oleh Rasulullah saat berbuka puasa juga termasuk porsi kecil. Bulatan Hais berukuran relatif kecil sehingga pantas untuk hidangan pembuka, bukan hidangan inti. Porsi kecil ini akan lebih mudah dicerna dan lebih cepat diubah menjadi tenaga. Menurut Prof. Dr. Abdul Basith, orang yang memenuhi perutnya langsung dengan makanan inti saat berbuka akan membutuhkan waktu setidaknya tiga jam atau lebih agar lambungnya dapat menyerap gula yang ada dalam makanan itu.
Berdasarkan uraian di atas, keberadaan kurma merupakan termasuk makanan pokok di daerah Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dijadikan menu berbuka puasa. Namun, apabila kaum muslimin tidak menemukan kurma, maka makanan lain yang mengandung gula dapat dikonsumsi dalam porsi kecil sehingga mendapatkan kesunnahan berbuka puasa. Lebih baik lagi apabila gula yang dikonsumsi adalah gula alami sehingga tidak beresiko untuk kesehatan.
Apabila setelah mengonsumsi makanan yang manis ada hidangan lain yang disajikan untuk berbuka tentu bisa dinikmati dalam jumlah yang wajar. Mungkin saja ada makanan lain yang terbuat dari tepung maupun makanan berlemak atau berminyak seperti aneka kue dan jajanan yang tersedia saat buka bersama. Namun, apabila kondisi berbuka puasa sangat sederhana, maka makanan apapun yang tersedia juga bisa dinikmati sebagaimana Rasulullah yang berbuka dengan makanan hadiah dari orang lain. Artinya, rezeki apapun yang diperoleh dalam bentuk hidangan berbuka puasa seadanya tidak menghalangi kaum muslimin dari mendapatkan kesunnahan sebagaimana yang Nabi praktikkan. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker, pegiat farmasi, anggota MUI Cilacap