Penyakit ‘Ain dalam Tinjauan Thibbun Nabawi dan Aromaterapi
Senin, 30 September 2024 | 22:30 WIB
Apabila ada penyakit yang misterius dan sulit dijelaskan penyebabnya secara medis, maka bisa jadi itu adalah penyakit ‘Ain. ‘Ain artinya mata sehingga istilah ini digunakan secara khusus untuk menyatakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh tatapan seseorang. Ketika seseorang mengatakan ‘Ain, maka yang dimaksud adalah tatapan mata yang berakibat buruk, bisa dari manusia dan bisa pula dari jin.
Bagaimana cara mengenali gejala penyakit ‘Ain ini berdasarkan sudut pandang Thibbun Nabawi? Adakah relevansi gejala penyakit ‘Ain dengan gangguan fisik maupun psikologis? Bagaimana pula terapi untuk penyakit tersebut maupun untuk orang di sekitarnya?
Penyakit ‘Ain dapat dikenali dari orang yang mengetahui karakter penyakit itu. Hal ini pernah terjadi pada sahabat Nabi yang terkena ‘Ain lalu Nabi dapat mengenali dari wajahnya.
Al-Hafizh ad-Dzahabi dalam At-Thibbun Nabawi menyebut bahwa Ummu Salamah pernah meriwayatkan bahwa Nabi melihat seorang pembantu rumah tangga di rumah beliau yang memiliki tanda saf’ah di wajahnya. Nabi saw menyampaikan agar pembantu tersebut diruqyah karena ada nadzrah pada dirinya (Beirut, Dar Ihya-ul ‘Ulum: 1990), halaman 274.
Al-Hafidz Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nadzrah adalah terkena penyakit ‘Ain atau gangguan jin. Dalam bagian selanjutnya, Beliau juga menjelaskan bahwa saf’ah memiliki beberapa arti dari berbagai pendapat ahli penyakit ‘Ain sebagai berikut:
“Hendaknya diperhatikan bahwa kata saf’ah yang digunakan dalam penjelasan tentang pembantu rumah tangga di atas berarti tanda hitam pada wajah. Al-Asma’i menjelaskan itu berarti tanda hitam kemerah-merahan. Ibn Halawiah mengatakan bahwa As-Saf’ah berarti seorang yang gila. Dalam bukunya tentang ‘Ain, ia mendefinisikan penyakit itu sebagai munculnya tanda warna gelap maupun kepucatan pada wajah.” (halaman 275-276)
Alrashidi dan Alnufaishan dalam I am afflicted with the evil eye! How Islamic cultural beliefs influence college students’ perceptions of their academic experience mengungkap bahwa tanda ‘Ain pada wajah seseorang diikuti dengan gejala lainnya yang bervariasi dan bisa berkembang lebih berat apalagi bila ‘Ain berasal dari tatapan mata seseorang yang memiliki sifat iri atau dengki. Budaya Islam percaya bahwa mata jahat dapat menyebabkan tekanan, penyakit mental, penyakit fisik, dan bahkan kematian melalui tatapan iri. (Journal for Multicultural Education, https://doi.org/10.1108/JME-05-2024-0054).
Beberapa penelitian ilmiah tentang ‘Ain menunjukkan kesesuaian antara tanda yang telah disebutkan di dalam kitab At-Thibbun Nabawi. Penelitian yang diketuai oleh Al-Hibshi pada tahun 2018 melaporkan bahwa tanda-tanda ‘Ain meliputi lingkaran hitam di bawah mata, warna kulit wajah yang pucat, sakit kepala, peningkatan berat badan yang tidak biasa, dan tidak adanya respon terhadap efek obat-obatan yang digunakan. Oleh karena itu, kondisi orang yang terkena ‘Ain cenderung tidak lagi menggunakan obat secara patuh. (Naz dan Aslam, 2023, Development and Validation of Belief in Evil Eye Scale, Journal of the Pakistan Medical Association, Vol. 21, No. 2: halaman 18-27).
Penelitian itu juga mengungkap berbagai gejala lain yang dapat dialami oleh orang yang terkena ‘Ain. Masalah-masalah psikologis seperti perasaan menyendiri hingga cemas dan depresi juga dapat dialami. Selain itu kejang hingga tangisan dan ketakutan yang terus menerus dapat terjadi pada bayi yang terkena penyakit ‘Ain.
Thibbun Nabawi mengakui bahwa ada penyakit ‘Ain yang disebabkan oleh jin maupun manusia. Oleh karena itu, pengobatannya harus disesuaikan dengan penyebabnya. Apabila penyebabnya adalah tatapan manusia, maka dapat diusahakan melalui terapi dengan air basuhan wudhu dan mandi dari orang yang menyebabkan ‘Ain, tetapi bila berasal dari gangguan jin maka diterapi dengan ruqyah.
Uniknya, meskipun gejala yang nampak pada orang yang terkena ‘Ain merupakan gejala yang bersifat fisik, tetapi terapi yang direkomendasikan Nabi adalah dengan ruqyah. Contohnya pernah terjadi pada masa Rasulullah yang menjumpai anak-anak dengan badan sangat kurus karena penyakit ‘Ain sebagaimana kisah berikut:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw memberi keringanan bagi anak-anak Ja’far memakai bacaan ruqyah dari sengatan ular. Beliau berkata kepada Asma’ binti Umais, ”Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma’ menjawab : “tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘Ain.” Kata Beliau,”Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka." (HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi)
Orang tua yang memiliki bayi dan terindikasi terkena penyakit ‘Ain juga dapat terpengaruh menjadi cemas dan khawatir. Tidak sedikit orang tua yang panik melihat bayinya terus menerus menangis dengan ekspresi ketakutan. Oleh karena itu, perlu juga mengusahakan ketenangan kepada orang tua yang bayinya mengalami penyakit ‘Ain agar mereka bisa mengusahakan pengobatan yang tepat.
Dalam situasi panik dan kalut, orang tua perlu mendapatkan terapi agar tidak bertindak gegabah. Salah satu metode untuk menenangkan orang tua yang bayinya terkena penyakit ‘Ain adalah dengan aromaterapi menggunakan tanaman beraroma wangi. Uniknya, tradisi menggunakan tanaman beraroma wangi untuk kasus ‘Ain ini telah dikenal oleh nenek moyang bangsa Nusantara sejak dahulu.
Salah satu tanaman beraroma wangi yang sering diborehkan pada bayi dengan indikasi ‘Ain adalah akar tanaman Dlingo atau Acorus calamus. Biasanya tanaman ini diborehkan pada bagian tubuh bayi yang menangis terus menerus dengan harapan bayinya menjadi tenang. Sebenarnya ada manfaat lain dengan diborehkannya tanaman tersebut yaitu agar aromanya menyebar dan membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tuanya menjadi tenang.
Minyak atsiri yang menguap dari tanaman Dlingo termasuk ke dalam aromaterapi yang berefek menenangkan. Dalam kaidah Thibbun Nabawi, aromaterapi digunakan untuk membuat seseorang tidur, dan untuk menenangkannya. Secara ilmiah, Dlingo dapat berefek untuk memulihkan gangguan kecemasan (Saroya, 2018, Neuropharmacology of Acorus calamus L, Springer: halaman 129-134)
Kondisi jiwa yang tertekan sebagaimana yang terjadi pada seseorang yang terkena ‘Ain maupun orang-orang di sekitarnya perlu untuk dipulihkan baik dengan ruqyah maupun metode lainnya. Namun, hakikat kesembuhan dari ‘Ain tetap berasal dari kasih sayang Allah swt. Oleh karena itu, setiap Muslim selayaknya berikhtiar secara optimal apabila terkena penyakit ‘Ain agar senantiasa optimis menuju kesembuhan. Wallahu a’lam bis shawab.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi