Potensi Thibbun Nabawi untuk Cacar Monyet dari Kitab Ar-Razi
Kamis, 26 Oktober 2023 | 09:00 WIB
Setelah setahun lebih berlalu, cacar monyet kembali muncul di Indonesia. Penyakit yang sempat membuat gempar dunia di tahun 2022 ini juga menyerang kalangan dewasa dan kawula muda di Indonesia. Dengan jumlah kejadian yang meningkat di Jakarta pada tahun 2023, masyarakat perlu waspada dengan penyakit ini. Sifatnya yang mudah menular dan gejalanya yang lebih berbahaya dari cacar biasa, bisa menimbulkan kegawatan jika tidak ditangani dengan baik.
Sejumlah langkah antisipasi telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah mewabahnya cacar monyet. Mulai dari melakukan deteksi, tracing, hingga isolasi pasien telah dilakukan. Upaya terbaru yang akan dilakukan adalah merencanakan vaksinasi pada kelompok beresiko tinggi. Selain upaya tersebut, adakah upaya sederhana yang bisa ditempuh oleh masyarakat? Apakah ulama Islam juga memberikan solusi dalam karya kitab klasiknya?
Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi merupakan ilmuwan Islam di bidang kedokteran yang mempunyai kitab tentang cacar dan campak. Kitab yang berjudul Fil Judari wal Hasbah itu termasuk kitab tertua yang menulis tentang penyakit infeksi cacar. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Treatise on the Small-Pox and Measles pada abad ke-16 M.
Ar-Razi menerapkan konsep Thibbun Nabawi yang holistik ketika membahas cacar di dalam kitabnya. Lantas, bahan-bahan apa yang dimuat di dalam kitab itu untuk mengatasi cacar? Bagaimana penelitian terkini mengungkap potensi efek bahan-bahan tersebut untuk cacar monyet?
Beberapa bahan alami seperti buah-buahan yang berasa asam disebutkan di dalam kitab Ar-Razi sebagai terapi untuk cacar. Meskipun pada masa itu belum ada cacar monyet, tetapi bahan alami yang disebutkan sangat banyak dan memiliki potensi untuk mengatasi berbagai varian cacar. Di antara bahan alami tersebut, ada yang dapat ditemukan di Indonesia.
Salah satu contoh bahan yang disebutkan dalam kitab Ar-Razi adalah buah delima. Bersama dengan buah-buahan lain yang berasa asam disebutkan dalam kitab itu sebagai menu orang yang terkena cacar.
“Hendaknya orang yang terkena cacar sering mengonsumsi delima yang masam dan sari buah yang berasa asam seperti jus jeruk yang asam dan anggur yang belum matang.” (Ar-Razi, 1548, A Treatise on the Small-Pox and Measles, The Sydenham Society, London: halaman 38)
Penjelasan dari cara penggunaan buah-buahan di dalam kitab tersebut juga cukup mudah diterapkan. Buah delima, maupun jeruk dan anggur itu bisa dikonsumsi secara langsung apa adanya atau dibuat menjadi sari buah seperti jus. Apabila dibuat menjadi jus, maka tidak perlu ditambahkan gula sehingga rasanya asam alami seperti rasa aslinya.
Buah-buahan tersebut ternyata telah diteliti potensinya untuk cacar monyet oleh sejumlah ahli. Peneliti dari India mengungkapkan hasil penelitian secara komputasi kimia tentang efek buah-buahan untuk cacar monyet pada tahun 2023. Buah delima yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai pomegranate dan buah anggur disebutkan memiliki kandungan berkhasiat yang potensial apabila digunakan dalam pengobatan untuk penyakit cacar monyet.
Kandungan kimia yang terdapat pada delima dan anggur dikenal sebagai myricetin. Potensi myricetin digunakan untuk cacar monyet karena sifatnya yang berefek sebagai antivirus. Penelitian terbaru tentang myricetin juga membuktikan efeknya sebagai antitiumor, antioksidan, antibakteri. Bahkan, myricetin bisa digunakan pada infeksi COVID-19 (Rout dkk, 2023, Exploiting the Potential of Natural Polyphenos as Antivirals Against Monkeypox Envelope Protein F13 Using Machine Learning and All-Atoms MD Simulations, Computers in Biology and Medicine 162: halaman 5).
Buah lain yang bermanfaat untuk dikonsumsi saat terjadi wabah cacar monyet adalah buah bidara. Tidak hanya buahnya, daun bidara juga dapat dijadikan rebusan dan digunakan sebagai minuman. Buah bidara disebutkan oleh ar-Razi untuk cacar secara umum karena termasuk buah yang memiliki rasa masam, sedangkan daun bidara disebutkan dalam penelitian terkini untuk cacar monyet.
Abu Bakar dan timnya dari Nigeria menyebutkan bahwa daun bidara (ziziphus mauritania) digunakan di Nigeria untuk mengatasi cacar monyet. Selain itu, rebusan daunnya juga bermanfaat untuk mengatasi hepatitis, meningitis, COVID-19, yellow fever, dan poliomyelitis (Abubakar dkk, 2021, Traditional Medicinal Plants Used for Treating Emerging and Re-Emerging Viral Diseases in Northern Nigeria, European Journal of Integrative Medicine, Elsevier: halaman 7)
Selain konsumsi buah-buahan, ar-Razi juga mengungkapkan pola istirahat yang penting untuk pasien cacar. Anjuran ini sesuai dengan kaidah isolasi pasien pada penyakit infeksi sehingga mencegah penyebaran penyakit pada warga lainnya.
“Hendaknya mereka istirahat dari bekerja, berjalan-jalan, berkendaraan, mandi, dan terpapar debu serta terik matahari.” (Ar-Razi, 1548, A Treatise on the Small-Pox and Measles, The Sydenham Society, London: halaman 40)
Dalam konteks cacar monyet seperti sekarang, maka pasien perlu diingatkan untuk menggunakan masker. Penularan virus cacar di antaranya melalui droplet yang dapat keluar dari mulut ketika berbicara atau batuk. Oleh karena itu, masyarakat yang masih sehat dan di sekitar tempat tinggalnya mengetahui ada kasus cacar monyet sebaiknya juga mengenakan masker.
Apabila cacar sudah mereda dan meninggalkan bekas di wajah serta bagian kulit lainnya, maka ar-Razi merekomendasikan obat untuk dioleskan di tempat yang dimaksud. Uniknya, ar-Razi meresepkan air beras untuk keperluan itu. Tentu saja penggunaannya setelah cacar mereda dan tinggal menyisakan bekas kering di kulit, bukan pada saat cacar berkembang di tubuh dan lukanya masih basah (Ar-Razi, 1548, A Treatise on the Small-Pox and Measles, The Sydenham Society, London: halaman 62).
Dengan merebaknya kembali kasus cacar monyet saat ini, selayaknya masyarakat waspada dan hati-hati. Selain upaya pengobatan seperti yang telah dijelaskan, tidak kalah pentingnya untuk mencegah penyakit itu dan penularannya. Gaya hidup sehat dan protokol kesehatan dapat diterapkan untuk mencegah penyakit cacar monyet berkembang menjadi wabah di Indonesia. Wallahu a’lam.
Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam.