Kesehatan

Terapi Waswas: Menangkal Bisikan Setan dengan Thibbun Nabawi

Ahad, 8 Desember 2024 | 06:30 WIB

Terapi Waswas: Menangkal Bisikan Setan dengan Thibbun Nabawi

Was-was. (Foto: NU Online/Freepik)

Penyakit waswas atau bisikan setan dapat mengganggu kesehatan fisik maupun mental dan jiwa. Dampak gangguan waswas ini beragam mulai dari keragu-raguan hingga kerasukan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Namun, banyak orang yang belum menyadari keberadaan penyakit ini sehingga luput untuk menyiapkan langkah-langkah antisipasi. 


Semua manusia mengalami waswas pada suatu saat dalam hidupnya, tanpa memandang usia, jenis kelamin, keyakinan, atau kepercayaan. Akan tetapi, sifat, isi, tingkat keparahan, dan pengaruh waswas ini berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, waswas hanya menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran ringan, sementara bagi yang lain mungkin dampaknya lebih parah hingga menyebabkan ketidakmampuan secara spiritual, mental, emosional, psikologis, dan sosial (Sabry dan Vohra, 2013, Role of Islam in The Management of Psychiatric Disorders, Indian J Psychiatry, Vol.55, Suppl.2: Halaman 205-214).


Bagaimana penyakit waswas ini dijelaskan oleh ulama Thibbun Nabawi? Bagaimana keterlibatan setan dalam memperparah gangguan ini? Bagaimana pula terapi dan antisipasinya?


Seorang ahli psikoterapi Islam yang bernama Abu Zayd Al-Balkhi telah menjelaskan tentang penyakit waswas dalam salah satu kitabnya. Beliau menjelaskan bahwa penyebab waswas dapat dikaitkan dengan salah satu atau kombinasi dari kecenderungan yang diwariskan dan penyebab lingkungan yang potensial.


Uniknya, ia menambahkan bahwa asal usul waswas juga dapat dihubungkan dengan kehadiran makhluk metafisik atau yang di dalam Islam dikenal dengan bisikan setan. Di dalam kitab Mashalihul Abdan wal Anfus disebutkan: “Waswas bisa berasal dari dominasi cairan tubuh tertentu pada manusia dan bisa pula berasal dari bisikan setan yang menggoda manusia untuk berbuat keburukan dunia dan akhirat” (Al-Balkhi, 1424 H, Mashalihul Abdan wal Anfus, Markaz Malik Faishal lil Buhuts wa Dirasat Islamiyah Saudi Arabia: halaman 157)


Penjelasan bahwa waswas ada yang berasal dari setan tersebut senada dengan yang disebutkan di dalam Surat An-Nas ayat 4:


مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ


Artinya: "Dari kejahatan (setan) pembisik yang bersembunyi"


Pada ayat ke 5 Surat An-Nas, disebutkan lebih lanjut bahwa:


الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ


Artinya: "Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia"


Lebih lanjut, Abu Ya’la berkomentar tentang waswas dalam surat An-Nas tersebut. Beliau menyebutkan bahwa waswas yang parah dapat berlanjut dengan masuknya setan ke dalam tubuh manusia atau yang disebut dengan kerasukan. “Bisikan itu bisa berbentuk perkataan tersembunyi yang dipahami oleh hati, atau bisa juga masuk ke dalam pikiran, lantas terjadilah kerasukan,” (Shalih, 2012, Ensiklopedi Pengobatan Islam, Pustaka Arafah: Halaman 235)


Orang yang kerasukan setan tentu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Bahkan apabila perilaku orang yang disetir oleh setan itu membahayakan dirinya maupun orang lain, ia tidak bisa mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. 


Dalam kitab yang ditulis oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, kerasukan seperti ini dapat menyebabkan pelakunya seolah sehat saat sedang tidak kerasukan. Beliau menuliskan: “Ada yang ketika sembuh ia dapat berfikir dengan baik serta dapat mengerjakan ibadah dengan khusyu’, tetapi ketika penyakitnya datang maka seluruh dirinya dikuasai setan.” (Al-Jauziyah, 1994, At-Thibbun Nabawi, DIMAS Toha Putra Grup: halaman 113)


Beberapa cara untuk mengatasi waswas yang direkomendasikan oleh Al-Balkhi di antaranya adalah dengan menghindari kesendirian. Saat seseorang sendirian, bisa jadi bisikan setan menyebabkan jiwanya bergejolak sehingga mampu menggerakkan anggota badan lainnya untuk berbuat keburukan. Namun, apabila seseorang berinteraksi dengan orang lain, pikiran-pikiran jahat itu tidak akan muncul karena tertutup oleh kesibukan aktivitas kebersamaan dengan orang lain.


Cara lainnya untuk mengatasi waswas adalah dengan berdiskusi mengenai permasalahan yang dialaminya bersama saudara dekat yang dipercaya atau konselor. Orang yang dipercaya tersebut tentu juga harus mempunyai kapasitas untuk memberikan solusi sehingga mampu mengurangi beban pada orang yang diberi konseling.


Antisipasi penyakit waswas yang direkomendasikan oleh Al-Hafidz Adz Dzahabi dalam kitab At-Thibbun Nabawi di antaranya dikatakan: “Memakan yang halal, membiasakan wara’, meninggalkan yang makruh, menjaga anggota tubuh yang dzahir dan menjaga perasaan batin. Mengendalikan nafsu dengan ilmu, menjaga rahasia dengan muruah, memohon dengan rendah diri kepada Allah agar melindungi diri dari nafsu, hawa, dan setan.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 287)


Menurutnya, semua upaya rohani sebagai pelatihan jiwa tersebut dapat menghindarkan seseorang dari pikiran-pikiran yang negatif. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah yang memandang bahwa waswas adalah penyakit rohani sehingga penanganannya juga dengan jalur petunjuk Rasulullah.


Untuk mengobati penyakit rohani, tidak ada jalan lain kecuali mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Sesungguhnya ketenangan rohani (jiwa) dapat diperoleh dengan mengenal Allah swt, Tuhan pencipta alam dan bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. Hanya inilah satu-satunya jalan untuk mengobati penyakit rohani dan hal ini hanya diperoleh dengan mengikuti petunjuk Rasul-rasul Allah.” (Al-Jauziyah, 1994, At-Thibbun Nabawi, DIMAS Toha Putra Grup: halaman 113)


Umat Islam memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi waswas berdasarkan bimbingan para ulama yang ahli dalam upaya pembersihan jiwa. Riyadhah berupa latihan untuk membersihkan hati, sebagaimana yang direkomendasikan dalam kitab-kitab Thibbun Nabawi, selayaknya diterapkan dalam rangka menghilangkan pengaruh negatif dari waswas. Dengan demikian, efek berbahaya dari waswas dapat diantisipasi sejak awal dan dapat dihilangkan agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi