Sabtu pagi 28 April 2018, Taman Kiram seluas dua hektare di Banjar, Kalimantan Selatan, sudah ramai. Sekitar 1.600 petani, pembudidaya, warga masyarakat dari 265 desa yang tergabung dalam Desa Peduli Gambut (DPG) dan desa-desa binaan Badan Restorasi Gambut (BRG) di tujuh provinsi tumpah ruah di sana.
Berseragam kaos putih mereka yang hadir dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua tampak antusias untuk "Rayakan Gambut, Pulihkan Indonesia" pada Jambore Masyarakat Gambut 2018 yang digelar BRG mulai 28 sampai dengan 30 April 2018 di Banjar.
Ada pula 100 dai gambut, 100 LSM serta 200 tamu undangan yang turut berkumpul di taman yang hampir di kelilingi kebun karet tersebut.
Seniman Mahidin pun tidak mau kalah memancing gelak tawa para hadirin dengan puisi-puisi rakyat yang menghibur pada pembukaan jambore yang digelar dua tahun sekali itu.
Jika meminjam istilah Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna Safitri, bahwa masa suram masyarakat yang hidup di lahan gambut sedikit demi sedikit mulai terlewati pascakebakaran hutan dan lahan hebat di 2015.
Bagi sebagian mereka, tudingan bahwa masyarakat yang telah menyebabkan terjadinya kebakaran besar di lahan-lahan gambut kala itu menyakiti hati. Namun rasa curiga, penolakan, pesimistis yang ditunjukkan di awal badan yang dibentuk Presiden Joko Widodo khusus untuk merestorasi gambut ini berdiri sedikit demi sedikit berubah.
Kini mereka mulai membuka hati, menaruh harapan, lebih percaya diri, menjadi bagian ikut mencari dan berbagi solusi untuk melestarikan sekaligus memberdayakan ekosistem gambut. Kehadiran mereka meramaikan Jambore Masyarakat Gambut 2018 menjadi moment untuk rehat sejenak dari rutinitas di lingkungan gambut mereka, sekaligus untuk saling menguatkan.
Kondisi ini yang, menurut Myrna, perlu dirayakan. Optimistis masyarakat yang mulai terbangun untuk bisa mengelola ekosistem gambut dengan baik, memunculkan model-model ekonomi baru namun sekaligus memulihkan lagi gambut-gambut terdegradasi yang berulang kali terbakar.
Mereka berbagi
Selepas seremoni, mereka menyebar menuju beberapa Tenda Berbagi yang didirikan di area rekreasi yang disulap menjadi tempat jambore. Dan secara berkelompok mereka bergilir menyambangi tenda-tenda tersebut untuk belajar mengenai teknik pembasahan gambut (rewetting) seperti pembuatan sekat kanal, sumur bor atau penimbunan.
Saat hari terakhir jambore digelar, sekitar 35 masyarakat dari beberapa DPG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memenuhi Tenda Berbagi C.2 yang terletak di sisi timur taman rekreasi tersebut.
Hendri yang merupakan Fasilitator Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur Pembasahan Gambut dari tim Kedeputian II Bidang Kontruksi, Operasi dan Pemeliharaan BRG bersama salah seorang tim ahli BRG memberikan pencerahan tentang sekat kanal.
Dialog mengenai model-model sekat kanal, bahan bakunya untuk pembuatan sekat kanal, fungsinya juga terjadi di sana. "Mengapa di area gambut dengan fungsi budidaya (berkedalaman kurang dari tiga meter) dan dekat dengan area aktivitas masyarakat model Sekat Kanal Peluap yang digunakan?" tanya Hendri.
Beberapa jawaban yang mendekati benar terlontar dari peserta. Hendri segera melengkapi jawaban, bahwa Sekat Kanal Peluap yang di bagian tengahnya diberikan lekukan lebih rendah ini menjadi jalan bagi masyarakat melalui kanal-kanal di lahan gambut dengan perahu-perahu kecil mereka.
"Kenapa harus diberikan jalan? Supaya sekat-sekat kanal yang sudah susah payah dibikin tidak dijebol lagi oleh masyarakat, karena itu kita buatkan lekukan kecil supaya ces (perahu ketinting) masih bisa lewat," lanjutnya.
Sementara itu, pembudidaya anggur dan hortikultura di lahan gambut dari Desa Sungai Bulan, Kecamatan Sungai Raya, Kubu Raya, Kalimantan Barat, Mahyushan (46) mendapat kesempatan berbagi cerita sukses di Tenda Berbagi lainnya.
Sejauh ini ia berhasil menanam 1.000 pohon anggur di lahan gambut seluas 200 meter. Dengan menggunakan dekomposer Bio Gambut, pria yang akrab disapa Yushan ini berhasil melakukan panen perdana 26 Mei 2016 sebanyak 450 kilogram (kg), setelah delapan bulan tanam.
Dari keuntungan menanam anggur di lahan gambut Yushan berani mengatakan perbandingan yang diperolehnya satu banding 10 dengan sawit. Dirinya sudah menghitung dengan cermat anggur jauh menjanjikan.
Cerita sukses ini membuat BRG meminta dirinya ikut membina warga di 21 desa di enam kabupaten lain di Kalimantan Barat. "Mereka juga sudah ikut Sekolah Lapang," lanjutnya.
Namun bukan tidak ada peserta yang justru mengalami kebingungan setelah mengikuti seluruh sesi di Tenda Berbagi selama tiga hari pelaksanaan jambore tersebut. Joko Susanto (24) misalnya, pemilik kebun sawit dan karet dari Desa Purwodadi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, yang diutus para orang tua di desanya mengikuti jambore mengaku bingung antara harus melestarikan atau memanfaatkan lahan gambut.
"Tapi jadi bingung juga, soalnya pemateri satu bilang gambut harus dilestarikan, terus pemateri lainnya bilang gambut harus dimanfaatkan," kata Joko di sela-sela mengikuti Pleno Prospek Bisnis Produk-produk Gambut di tenda utama jambore.
Tampaknya pemahaman tentang fungsi lindung dan budidaya lahan gambut belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat yang mendiami ekosistem unik tersebut.
Saat ditanya ilmu baru apa yang didapat selama tiga hari mengikuti jambore, Joko mengaku mendapat penyegaran soal teknik-teknik pembasahan gambut. Penting untuk tahu bagaimana membuat sumur bor atau memperbaiki sekat kanal yang efektif, mengingat mayoritas di desa mereka warganya menanam karet dan kelapa sawit.
Tidak ada sekat kanal yang dibangun di area desanya, namun di lokasi lahan berkonflik di sana BRG sudah membuat beberapa sumur bor. Lahan yang masih menjadi konflik warga Desa Purwodadi dan masyarakat asli di sana, menurut dia, merupakan lahan kosong yang justru rawan kebakaran, karenanya dibuat sumur-sumur bor di sana.
Dukungan diberikan
BRG melakukan pemulihan gambut melalui cara pembasahan (rewetting/R-1) dengan pembuatan sekat kanal, sumur bor dan penimbunan kanal. Lalu melakukan revegetasi (R-2) dengan membuat penyemaian dan pembibitan di lahan gambut yang rusak, penanaman dan regenerasi alami.
Terakhir, BRG melakukan revitalisasi (R-3) sumber mata pencarian dengan mendorong paludikultur seperti menanam tanaman bernilai ekonomi namun ramah untuk gambut.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut melibatkan masyarakat secara langsung. Seperti yang Kepala BRG Nazir Foead sampaikan malam sebelum Jambore Masyarakat Gambut 2018 dibuka, bahwa bukan kontraktor yang akan membangun sekat-sekat kanal, sumur bor atau timbunan kanal, melainkan masyarakat sendiri bersama-sama tim BRG dan lainnya.
Untuk soal revitalisasi sumber mata pencarian, yang dilakukan bukan hanya soal membantu menemukan tanaman bernilai ekonomi saja, tapi sekaligus membantu menjangkau pasar.
Karenanya, pada Jambore Masyarakat Gambut 2018, ada pula Pasar Gambut yang sengaja disediakan untuk memasarkan produk-produk pertanian, budidaya, kerajianan, perkebunan, hingga produk hutan nonkayu seperti madu yang sudah dihasilkan di lahan gambut selama ini.
Duta Besar Kerajaan Norwegia Vegard Kaalee pun berkomentar positif saat mengelilingi Pasar Gambut di hari terakhir jambore digelar. Dirinya merasa senang melihat banyak petani hadir dan membawa semua produk-produk menarik dan menginspirasi dari lahan gambut.
Kehadirannya di sana pun ingin menegaskan bahwa Norwegia mendukung setiap langkah Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim, termasuk di dalamnya upaya mengurangi deforestasi maupun melakukan restorasi.
Maka keberhasilan melibatkan langsung masyarakat untuk melestarikan sekaligus memanfaatkan lahan gambut dengan baik guna menghindari kebakaran hutan dan lahan yang memicu lepasnya karbon patut dirayakan. Kini tersisa dua setengah tahun kesempatan untuk menyempurnakan restorasi gambut guna memulihkan Indonesia. (Antara/Mahbib)