Lingkungan

Tantangan-tantangan Rehabilitasi Mangrove di Indonesia

Senin, 5 Juli 2021 | 23:00 WIB

Tantangan-tantangan Rehabilitasi Mangrove di Indonesia

Foto: BRGM

Jakarta, NU Online
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove di Indonesia, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari tantangan ekologis hingga persoalan administratif. Tantangan-tantangan inilah yang saat ini sedang diupayakan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI agar segera selesai sehingga percepatan rehabilitasi mangrove bisa dilakukan. 

 

Kepala Kelompok Kerja (Pokja) Program dan Anggaran BRGM RI Teguh Prio Adi Sulistyo menyebutkan, tantangan pertama yang mesti dihadapi adalah persoalan lokasi target di lapangan yang dimungkinkan berbeda antara analisis yang telah dilakukan dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga perlu dilakukan ground check (pemeriksaan tanah) untuk memastikan kesiapan lokasi. 

 

"Namanya mangrove berada di bibir pantai kondisinya pasti berbeda-beda, sehingga perencanaan di awal dengan proses pelaksanaan di lokasi terkadang juga memerlukan intervensi-intervensi khusus lainnya, gitu. Karena bisa jadi ada perubahan-perubahan dalam konteks pelaksanaan penanaman di lapangan mengingat kondisi dan kesiapan lokasinya bisa berubah-ubah," tutur Teguh secara virtual dalam Sosialisasi Percepatan Rehabilitasi Mangrove di Kepulauan Riau, Kamis (1/7) lalu.

 

Kemudian, tantangan kedua yang harus dihadapi yakni penolakan masyarakat terhadap rencana percepatan rehabilitasi mangrove, terutama pada kawasan mangrove yang sudah dibudidayakan menjadi tambak. 

 

"Di beberapa tempat, ada semacam resistensi dari beberapa kelompok masyarkaat yang arealnya sudah terlanjur dijadikan tambak. Ini menarik. Artinya, bagaimana kita bisa melakukan upaya-upaya pendekatan kepada masyarkaat untuk punya kesepahaman tentang rehabilitasi mangrove ini. Tapi beberapa kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat sudah dilakukan,” jelasnya.

 

Teguh menambahkan, tantangan ketiga adalah soal ketersediaan bibit mangrove dan propagul yang belum mencukupi untuk mencapai target penanaman di sembilan provinsi yang menjadi lokus kerja BRGM. Kesembilan itu adalah Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.

 

“Bibit kita masih ada tantangan atau terkendala. Tapi insyaallah Agustus nanti mudah-mudahan bibit sudah tersedia sesuai dengan yang dibutuhkan untuk bisa langsung dilakukan kegiatan penanaman,” harap Teguh.

 

Tantangan keempat terjadi pada wilayah dengan tingkat gelombang ombak dan arus yang sangat kencang. Di kawasan seperti ini, perlu dibangun atau dibuat alat pemecah ombak dalam jumlah yang memang mencukupi. 

 

“Di beberapa daerah karena tingkat gelombang tinggi dan arus kencang, perlu diintervensi juga dengan alat-alat pemecah ombak yang jumlahnya tengah kami hitung berapa kebutuhannya,” kata Teguh. 

 

Kelima, tantangan yang dihadapi BRGM dalam melakukan upaya percepatan rehabilitasi mangrove terletak pada persoalan administrasi, yakni terdapat perbedaan standar biaya rehabilitasi lahan yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dan pemerintah daerah. Hal inilah, menurut Teguh, menyebabkan kekhawatiran jika dilakukan audit. 

 

“Ini sifatnya administrasi. Jadi adanya perbedaan standar biaya yang kami terapkan di Jakarta dengan yang ada di daerah, yang kadang-kadang juga harus kami selesaikan secara administrasi. Jadi ini adalah tantangan yang muncul dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Tapi semua ini sedang kita selesaikan, sehingga insyaallah dalam kegiatan ke depan akan semakin lancar,” pungkasnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan