10 Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Penyelenggara Negara terkait Demonstrasi Agustus 2025
Jumat, 12 September 2025 | 21:00 WIB
Penyampaian 10 rekomendasi Komnas Perempuan terkait demonstrasi Agustus 2025. (Foto: NU Online/Jannah)
Jakarta, NU Online
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan rekomendasi imbas demo pada 25-31 Agustus 2025 yang berakhir ricuh di berbagai daerah.
Hal tersebut dipaparkan Wakil Ketua Komnas Perempuan Ratna Batara Mukni saat menyampaikan Laporan dan Temuan Komnas Perempuan atas Penanganan Negara dalam Aksi Demonstrasi Massa di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (12/9/2025).
Ia mengatakan bahwa rekomendasi ini ditujukan kepada pemerintah dan aparat kepolisian. Poin-poin ini dikumpulkan usai adanya temuan dari pihak Komnas Perempuan di lapangan.
“Dari hasil temuan singkat tim respons cepat Komnas Perempuan, kami mendesak 10 rekomendasi,” ujarnya.
Pertama, hentikan praktik represif. Ia mengatakan bahwa negara perlu segera mengakhiri penangkapan korban yang sewenang-wenang.
“Sweeping yang meresahkan, juga termasuk segala bentuk teror ancaman kekerasan seksual,” ujar Dahlia.
Kedua, lindungi hak warga dalam menyampaikan pendapat. Ratna menyampaikan bahwa seharusnya negara hadir untuk menjamin setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan aman.
“Setiap orang memiliki hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa rasa takut, termasuk di ruang-ruang digital sesuai mandat konstitusi dan standar HAM,” ucapnya.
Ketiga, mendorong Kepolisian untuk mempertimbangkan pembebasan tiga perempuan berinisial L, F, dan G yang masih ditahan.
“Kondisi mereka menunjukkan kerentanan yang dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum, mulai dari keterbatasan pemahaman hukum, posisi ketergantungan dalam keluarga, hingga peran sebagai ibu yang harus meninggalkan anak,” terangnya.
Kondisi ini, menurutnya dapat menimbulkan dampak psikologis dan sosial berupa trauma, stigma, doxing, serta ancaman terhadap keamanan keluarga, yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam mencari penyelesaian yang adil.
Keempat, menjamin hak atas Informasi. Ratna menyampaikan bahwa setiap masyarakat memiliki akses informasi harus tetap dijamin, tanpa pembatasan akses internet dan media sosial.
“Kalau akses informasi dibatasi justru menghambat informasi dan memperparah kerentanan korban,” ujarnya.
Kelima, pastikan kepatuhan pada prinsip HAM. Ia menegaskan bahwa Kapolri perlu memastikan seluruh jajaran kepolisian bekerja sesuai dengan standar HAM.
“Sementara untuk TNI dikembalikan pada fungsi utamanya di bidang pertahanan tanpa mencampuri urusan sipil,” katanya.
Keenam, lindungi pembela HAM. Ratna menyampaikan bahwa negara harus membebaskan pembela HAM yang ditahan dan menghentikan kriminalisasi korban.
“Termasuk perempuan yang menjadi garda dalam pembela HAM, namun kerap dituduh dengan dalih penghasutan atau provokasi,” tegasnya.
Ketujuh, sediakan pemulihan yang beperspektif korban. “Negara wajib menyediakan layanan pemulihan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan terdampak,” katanya.
Menurut Ratna, aspek tersebut harus mencakup aspek fisik, psikologis, hukum, dan sosial-ekonomi dengan pendekatan yang responsif gender.
Kedelapan, perkuat akuntabilitas dan transparansi. Ia menyampaikan bahwa perlu adanya tim independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, termasuk kekerasan berbasis gender, dengan jaminan hasilnya ditindaklanjuti secara terbuka.
Kesembilan, perbaiki tata kelola pemerintahan. Ratna menegaskan bahwa pemerintah bersama DPR RI harus menjawab tuntutan publik dengan langkah nyata.
“Langkah nyata tersebut harus menunjukkan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, pelaksanaan program, dan integritas pejabat negara, demi memulihkan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian haruslah terukur dan proporsional sejalan dengan prinsip-prinsip legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Terakhir, Polri diminta untuk segera membebaskan para tahanan yang belum ditetapkan sebagai tersangka. Ratna menyayangkan bahwa banyak polisi yang menangkap korban tanpa dilakukan pemanggilan terlebih dahulu dan penyidikan dilakukan secara lamban.
“Polri segera membebaskan para tahanan yang belum ditetapkan sebagai tersangka atau melakukan penangguhan penahanan bagi tersangka secepatnya, serta melindungi dan menegakkan KUHAP dan aturan perundang-undangan lainnya,” pungkasnya.