3 Faktor Penguat Ikatan Kiai dan Santri menurut Kiai Hodri Ariev
Kamis, 9 Maret 2023 | 16:45 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hodri Arief menuturkan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat memperkuat hubungan antara santri dan kiai di pesantren.
Hal itu ia sampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) Pemetaan 100 Pesantren Tua di Indonesia, yang digelar Direktorat Pendidikan dan Pondok Pesantren Kemenag RI, di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Berikut ini tiga faktor yang disebut jadi penguat ikatan kiai dan santri menurut Kiai Hodri:
1. Keteladanan
Ia mengatakan dalam pesantren keteladanan itu ada dalam diri pribadi kiai. Kiai sendiri dianggap sebagai sosok yang meneladani kehidupan Nabi.
"Keteladan dari para kiai yang dalam pandangan para santri dianggap sebagai tokoh yang memadukan antara ilmu dan amal," kata Kiai Hodri.
Tak pelak keteladan itu dalam kacamata seorang santri menjadi suatu hal yang amat menarik, untuk mengikuti jejaknya dengan cara memutuskan diri menjadi bagian dari pesantren.
"Kita banyak menyaksikan para kiai mereka menunaikan peran sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Contohnya, ketika memperjuangkan kemerdekaan," jelas dia.
2. Mushaharah/ikatan pernikahan
Ikatan pernikahan ini, jelas Kiai Hodri, lazimnya dilakukan dengan cara meminang santri untuk menjadi menantu kiai, atau mempererat hubungan kekeluargaan dengan pimpinan pondok lain dengan cara besanan.
"Ada santri yang jadi menantu kiai atau karena hubungan kekerabatan melalui besanan," jelas dia.
Tradisi mushaharah ini, menurutnya, sudah terjadi sejak zaman Sunan Ampel. Raden Patah menjadi murid sekaligus menantu Sunan Ampel. Begitupun dengan Sunan Giri yang juga memiliki ikatan kerabat yang kuat dengan Sunan Ampel.
"Dari situ kemudian relasi jaringan pesantren juga terbentuk dari ikatan kekeluargaan," terangnya.
3. Sanad
Kedua hal di atas, lanjut dia, tidak terlepas dari hubungan antara sanad kiai dan santrinya. Ini merujuk pada tiga ulama besar, yakni KH Soleh Darat, KH Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Nawawi Al-Bantani.
"Semua generasi sesudah tiga ulama populer ini merupakan ulama atau kiai yang memiliki silsilah keguruan dengan tiga ulama besar itu. Namun, bukan berarti para kiai tidak memiliki sanad ke ulama lain," tandasnya.
Contohnya, Syeikhona Kholil Bangkalan di samping berguru kepada ulama Jawa Timur, ia juga berguru pada ulama di Kalimantan.
"Nah, Mbah Kholil juga belajar kepada ulama-ulama di Hijaz," ungkapnya.
"Kemudian dari Mbah Kholil ini kumpul ulama-ulama yang lain," imbuh Kiai Hodri.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan