Nasional

3 Faktor Perundungan di Pesantren dan Solusinya

Senin, 23 September 2024 | 20:00 WIB

3 Faktor Perundungan di Pesantren dan Solusinya

Ilustrasi perundungan. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Sekolah yang berbasis asrama sangat rentan terjadi kasus perundungan. Hal ini bisa menimpa adik kelas yang dirundung kakak kelasnya, maupun tenaga pendidik kepada murid-muridnya.


Pengasuh Pondok Pesantren Putra Anak Al-Fatimiyah Al-Munawwir, Yogyakarta Khumaero menyampaikan terdapat beberapa faktor perundungan yang kerap terjadi di pesantren.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Pertama, latar belakang santri berasal dari daerah yang berbeda-beda menjadi faktor internal dan hal yang mendasar terjadinya kekerasan. Perbedaan latar belakang seperti nada bicara membuat santri terkadang kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan.


“Misal orang Jakarta dan Jawa Timur ini kan memiliki nada bicara yang keras, sedangkan Jawa Tengah memiliki nada bicara yang halus. Itu baru Jawa belum dari Sumatra dan Kalimantan. Alhasil perbedaan nada bicara dan bahasa ini dapat terjadinya perundungan,” ujar Khumaero kepada NU Online Senin (23/9/2024).


Kedua, terjadinya senioritas. Seperti kakak kelas yang mendapat kepercayaan dari kiai membuat dirinya menonjol dan merasa adik-adik kelasnya ini mudah untuk dimanfaatkan dan disuruh-suruh. Ketika kejadian tersebut dilakukan secara terus menerus dan adik kelasnya diam karena takut untuk melaporkan berakhir mudahnya kasus kekerasan perundungan terjadi.


“Adanya kakak kelas yang menonjol karena mendapat kepercayaan dari kiainya dan merasa adik-adiknya ini bisa dimanfaatkan dan disuruh-suruh, membuat kakak kelasnya menjadi senang dan akhir-akhirnya kasus bullying ini terjadi,” ujarnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Ketiga, pesantren yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar akan kerap dianggap sombong. Hal tersebut terjadi karena pesantren yang terlalu tertutup dan tidak berbaur dengan masyarakat.


“Adanya kekerasan di lingkungan pesantren juga dapat tercipta dari faktor eksternal, berupa tidak mau dan tidak beradaptasinya pesantren dengan lingkungan sekitar membuat pandangan masyarakat bahwa pesantren tersebut sombong,” ujar Khumaero.


Khumaero yang juga menjabat sebagai kepala sekolah SMK Maarif Al-Munawwir, Yogyakarta ini juga menegaskan kepada santri untuk jangan takut melaporkan jika terjadi perundungan di lingkungan pesantren.


Ia menyampaikan bahwa guru bimbingan konseling (BK) dapat menjadi orang pertama yang menerima pengaduan kekerasan di lingkungan pesantren. “Guru BK menjadi tempat keluh kesah dan permasalahan santri, baik yang dialami sesama temannya maupun terhadap gurunya,” ujarnya.


Ia juga menambahkan bahwa sekolah perlu membentuk tim atau satgas anti kekerasan di lingkungan pesantren yang diketahui dan persetujuan oleh pengasuh, kepala sekolah, dan perwakilan santri.


Hal tersebut merujuk pada keputusan nomor 1262 tahun 2024 tentang regulasi untuk pengasuhan yang ramah anak di pesantren, bahwa pesantren harus memiliki layanan atau tempat pengaduan bagi santri yang terkena kasus kekerasan.


Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Wahid menyampaikan bahwa belum mampu mengelola akan dirinya sendiri menjadi salah satu penyebab santri menjadi korban perundungan.


“Korban kekerasan kerap terjadi kepada santri karena belum mampunya santri mengelola dirinya sendiri, ditambah malangnya pendidikan saat ini belum mampu menumbuhkan akan pengendalian diri santri,” ujar Alissa.


Ia menegaskan bahwa pesantren harus terbuka dan peduli penolakan tindak kekerasan dalam bentuk apapun serta membangun kebiasaan dimulai dari keseharian yang benar. Hal itu dilakukan agar santri merasa nyaman dan aman selama belajar di lingkungan pesantren.