4 Masalah Jika Pemerintah Buka 20 Juta Hektar Lahan untuk Food Estate, Begini Solusinya
Rabu, 8 Januari 2025 | 22:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah berencana membuka 20 juta hektar lahan menjadi ladang untuk lumbung pangan atau food estate. Hal itu dilakukan demi tercapainya target swasembada pangan.
Rencana kebijakan itu menuai beragam reaksi keras dari berbagai kalangan karena mengandung potensi daya rusak dalam mengatasi persoalan pangan.
“Food estate adalah kebijakan destruktif untuk mengatasi krisis pangan,” kata Mohamad Shohibuddin, pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB), kepada NU Online pada Senin (7/1/2025).
Menurutnya, hal tersebut hanyalah ‘lompatan kesimpulan’ sebagai jalan pintas. Alih-alih menghasilkan terobosan solusi, kebijakan food estate itu justru akan menimbulkan berbagai persoalan baru. Setidaknya, ia menguraikan empat masalah yang ditimbulkan akibat rencana food estate.
Pertama, laju fragmentasi penguasaan lahan pertanian pangan dan konversinya menjadi penggunaan non-pertanian akan semakin meningkat jika masalah struktural di kantong-kantong produksi pangan tidak diselesaikan.
Hal itu berdampak pada kapasitas produksi pangan yang sudah ada di kantong-kantong produksi tersebut akan semakin menurun, sedangkan produksi pangan yang dibayangkan dapat dihasilkan dari kawasan food estate belum tentu berhasil diwujudkan.
Kedua, rencana kebijakan itu berpotensi besar memicu konflik agraria, khususnya dengan masyarakat lokal dan komunitas adat. Sekalipun konflik agraria ini dapat dikendalikan dengan cara kekerasan, tetapi ia menilai dampak jangka panjangnya dapat menciptakan ‘bom waktu’. Bahkan hal itu dapat berupa aspirasi separatisme sebagaimana kasus Aceh dulu dan kondisi di Papua saat ini.
Ketiga, penerapan sistem pertanian monokultur dalam skala industrial untuk produksi pangan tidak sesuai dengan kondisi ekosistem di sebagian besar wilayah Indonesia sebagai wilayah tropis dan berciri kepulauan.
Kerusakan lingkungan akibat penerapan sistem pertanian monokultur ini sudah terbukti dari berbagai proyek pencetakan sawah dalam skala luas yang dilakukan oleh pemerintah, mulai dari proyek sejuta hektar di masa Presiden Soeharto, food estate yang sudah dimulai sejak masa pemerintahan SBY melalui MIFEE, dan beberapa proyek food estate pada masa pemerintahan Jokowi di Kalimantan.
“Apabila model semacam ini tetap dipaksakan, maka bencana ekologis yang sudah terjadi akan terulang lagi dan semakin meluas,” ujar akademisi yang menamatkan studi masternya di Belanda itu.
Keempat, pembangunan food estate tanpa merambah ke dalam kawasan hutan sangat sulit. Menurutnya, pelepasan kawasan hutan dan konversinya menjadi food estate bertentangan dengan komitmen global pemerintah untuk berkontribusi secara signifikan pada aksi iklim global melalui pencapaian NDC yang progresif.
“Dampak lingkungan yang ditimbulkannya akan sangat spektakuler karena pembukaan puluhan juta hektar hutan akan menimbulkan bencana ekologis yang luar biasa baik di tingkat lokal maupun pada skala planet,” katanya.
Mengutip Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 11, Shohibuddin menyebut kebijakan food estate yang destruktif ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan merusak alam, tetapi dengan dalih dan pretensi berbuat baik. Hal ini secara tegas telah diperingatkan Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 11.
“Melakukan perbuatan merusak alam dengan dalih pembangunan adalah hal yang sangat tercela dalam pandangan Islam,” kata Katib Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda 2014-2016 itu.
Hal senada juga disampaikan Margareth Sembiring dalam artikelnya berjudul Green Recovery in Post-COVID-19 Stoutheast Asia? yang terbit di S. Rajaratnam School of International Studies (2020).
Menurutnya, food estate di wilayah Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara berada di titik-titik pengembangan lahan gambut yang sangat penting dalam mengurangi emisi.
“Karena restorasi lahan gambut sangat penting dalam mengurangi emisi dari perubahan penggunaan lahan, program kawasan pangan ini menandakan Indonesia mengorbankan komitmen iklimnya demi alasan ketahanan pangan,” tulis Sembiring.
Hal serupa juga disampaikan Maria Monica Wihardja, Bustanul Arifin, dan Mukhammad Faisol Amir dalam laporan risetnya berjudul High Rate of Agricultural Land Expansion yang diterbitkan Center for Indonesia Policy Studies (2023). Menurut mereka, kebijakan itu bertentangan dengan target-target pemerintah sendiri.
“Peraturan tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Lahan Pangan berpotensi mendorong terjadinya deforestasi di Indonesia, yang bertentangan dengan komitmen pemerintah seperti target Enchanced Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Sink Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya (FOLU) Indonesia 2030,” demikian termaktub dalam laporan tersebut.
Akar masalah
Rencana pembukaan lahan ditengarai karena lahan pertanian yang kian menyempit sekaligus para petani yang juga kian menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data penurunan usaha pertanian perorangan pada 2013 sekitar 7 persen.
“Jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP) sebanyak 29.342.202 unit atau turun 7,45 persen dari tahun 2013 yang sebanyak 31.705.295 unit,” demikian termaktub dalam Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 - Tahap I.
Shohibuddin menyampaikan bahwa penyusutan luas lahan dan penurunan jumlah petani itu perlu didalami akar persoalannya. Hal tersebut, menurutnya, bukanlah sebab, melainkan akibat. Ia melihat bahwa hulunya adalah kegagalan mencegah konversi lahan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan serta pemberian skema insentif yang memadai bagi petani yang mempertahankan lahan pertanian pangannya.
Kemudian pembangunan infrastruktur memicu konversi lahan pertanian pangan secara besar-besaran, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan sebagainya.
Pemerintah dinilai tidak serius menjalankan program land reform untuk memastikan luas penguasaan tanah para petani produsen pangan yang memenuhi skala ekonomi minimum dan dapat memberikan keuntungan ekonomi yang memadai.
“Salah satu potensi pelaksanaan land reform untuk mendukung ketahanan pangan ini, namun tidak kunjung dilakukan pemerintah, adalah pelepasan puluhan ribu hektar areal sawah masyarakat di berbagai daerah di Jawa yang masih diklaim sebagai kawasan hutan, sebagian di bawah Perhutani,” katanya.
Di pihak lain, pemerintah menjalankan kebijakan tutup mata (laissez faire) dalam menyikapi kecenderungan fragmentasi dan guremisasi tanah para petani produsen pangan dan justru melepaskannya pada mekanisme pasar. Hal demikian ini berdampak pada penguasaan lahan sempit dan tidak memenuhi skala ekonomi para petani.
Ujungnya, mereka memilih untuk menjual tanah dan beralih ke sektor pekerjaan lain sebagai pilihan paling “rasional” di tengah kondisi struktural yang sangat memusuhi mereka (distress land sale).
Solusi
Shohibuddin menyampaikan tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan swasembada pangan dengan ramah lingkungan.
Pertama, fokuskan kembali kebijakan pemerintah untuk mengatasi akar struktural dari persoalan penyempitan luas lahan pertanian pangan dan penurunan jumlah petani produsen pangan.
Kedua, perlunya pengonsolidasian lahan-lahan pertanian gurem menjadi unit penguasaan yang lebih luas di tangan badan usaha petani. Hal ini dilakukan guna diberdayakan menjadi korporasi petani yang efisien dengan usaha pertanian pangan yang terintegrasi hulu hingga hilir.
Ketiga, perlu pengembangan pembukaan sentra-sentra baru produksi pangan yang berbasis rumah tangga. Salah satu caranya adalah dengan pengembangan pemukiman baru di luar Jawa yang dapat dikembangkan untuk produksi pangan melalui program transmigrasi, baik berupa transmigrasi lokal, transmigrasi nasional, maupun kombinasi keduanya.
“Dengan memetik segi-segi positif dari program transmigrasi ini di masa lampau, perluasan sentra produksi pangan dapat diwujudkan melalui kebijakan pengembangan pemukiman baru yang didampingi secara terpadu dalam periode waktu yang mencukupi,” ujar penulis buku Wakaf Agraria itu.
Ia juga menegaskan bahwa pertanian pangan berskala rumah tangga merupakan usaha tani yang paling efisien dalam pengalaman berbagai negara. Pertanian pangan berskala rumah tangga juga terbukti paling ramah lingkungan dibandingkan dengan model food estate yang dijalankan pada skala industrial.
“Alih-alih menempuh jalur pintas ini (food estate), pemerintah seharusnya menempuh kebijakan yang berada di jalur kerakyatan yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan dan amanat konstitusi,” pungkasnya.