Nasional

5 Langkah Memutus Mata Rantai Kekerasan di Pondok Pesantren

Selasa, 1 Oktober 2024 | 18:00 WIB

5 Langkah Memutus Mata Rantai Kekerasan di Pondok Pesantren

Alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Bahrul Fuad, juga Komisioner Komnas Perempuan. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Bahrul Fuad menyoroti kasus kekerasan di lingkungan pondok pesantren. Cak Fu, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa praktik kekerasan bukan metode yang efektif dalam mendidik santri. Kekerasan justru berimbas negatif kepada kepribadian santri.


Cak Fu menawarkan lima langkah untuk menghilangkan praktik kekerasan di pondok pesantren. Pertama, mendorong agar pengasuh dan pengurus pesantren merumuskan kebijakan yang maslahat. Tak kalah penting adalah melakukan pengawalan dan perbaikan atas kebijakan tersebut secara berkesinambungan.


Kedua, pengasuh dan pihak pesantren harus memiliki kebijakan atau sistem pencegahan perundungan atau praktik kekerasan yang baik. Misal ada aturan sanksi tegas terhadap para pelaku bullying/kekerasan.


"Ketiga, perlu adanya monitoring dan evaluasi berkala terhadap kebijakan dan sistem pencegahan perundungan/kekerasan di pesantren,” kata Cak Fu, Senin (30/9/24).


Keempat, mendorong agar pengasuh, pengurus serta pembina pesantren membuat program selingan yang mampu menarik serta menampung minat dan bakat santri.


“Pengasuh harus menciptakan suasana kehidupan pesantren yang menyenangkan, yang memberikan ruang ekspresi kreatif para santri. Hal ini dengan mengembangkan kurikulum yang menitikberatkan pada minat dan bakat santri. Sehingga santri tidak merasa penat dengan beban pelajaran yang padat,” kata Komisioner Komnas Perempuan itu.


Kelima, para pendidik di pesantren harus membangun komunikasi intens dengan santri. Sebab menurutnya interaksi dan komunikasi langsung antara pengasuh dengan santri dapat mencegah peluang terjadinya perundungan atau praktik kekerasan di kalangan santri. Melalui interaksi langsung, pengasuh akan lebih mengenal karakter para santrinya dan dapat memberikan nasihat secara langsung.


Sementara itu, Psikolog Keluarga Alissa Qotrunnada Wahid mengatakan bahwa kasus kekersan yang berada di permukaan adalah bagian dari fenomena puncak gunung es. Dalam pengertian, di bawah kasus-kasus tersebut terdapat sistem yang menggerakkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan di lembaga pendidikan. 


Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama sebagai upaya perbaikan dari sejumlah penggerak sistem tersebut, antara lain pemerintah, pengasuh pesantren serta ormas-ormas, terutama Nahdlatul Ulama.


“Karena itu PBNU sekarang sedang menyiapkan langkah langkah untuk bisa menghadirkan pesantren yang bebas dari kekerasan, apapun bentuk kekerasan itu,” kata ketua PBNU itu pada Kamis (5/9/2024).


Sebelumnya dijelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan. Faktor tersebut antara lain; faktor emosi yang kurang stabil, faktor keluarga yang kurang harmonis, faktor (lingkungan) pesantren yang tidak suportif, serta faktor masyarakat yang menganggap kekerasan sebagai kewajaran.