Nasional

56 Tahun Mengabdi di Masjid, Kesetiaan Mbah Sukijan Berbuah Umrah

Jumat, 19 September 2025 | 21:00 WIB

56 Tahun Mengabdi di Masjid, Kesetiaan Mbah Sukijan Berbuah Umrah

Mbah Sukijan di Masjid Nabawi. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

 

Kesabaran memang selalu berbuah manis. Hal ini dialami oleh Mbah Sukijan (71 tahun), marbot Masjid Jami’ Al-Ilham Bakalan, Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah. Setelah menunggu beberapa bulan sejak diumumkan sebagai penerima hadiah umrah gratis dari PBNU, akhirnya ia bisa berangkat ke Tanah Suci pada Rabu (17/9/2025) kemarin.

 

Kisah Mbah Sukijan sempat menarik perhatian publik pada Ramadhan lalu. Ia dinobatkan sebagai marbot terlama se-Indonesia dalam acara Khataman Al-Qur’an NU Global Pemecah Rekor MURI di Masjid Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, 17 Ramadhan 1446 H, yang bertepatan dengan 16 Maret 2025 silam.

 

Penghargaan itu sekaligus mengantarkannya sebagai penerima paket umroh gratis dari PBNU. Namun, perjalanan ibadah tersebut tidak langsung bisa dilaksanakan. Pasalnya, keberangkatan umroh yang dijadwalkan usai Lebaran menjadi tertunda karena beberapa hal.

 

Setelah sempat tertunda beberapa bulan, Mbah Sukijan akhirnya berangkat ke Tanah Suci. Ia menjadi satu-satunya penerima umrah gratis dari PBNU dalam program Terima Kasih Marbot yang diinisiasi Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU.

 

Bagi jamaah Masjid Al-Ilham Bakalan Pati, pengabdian Mbah Sukijan bukanlah kisah baru. Sejak 1969, ketika masih remaja berusia 15 tahun, ia sudah mengabdikan diri sebagai marbot. Lebih dari separuh abad ia setia menjaga masjid meski hanya menerima bisyarah (imbalan) yang sangat minim.

 

Mbah Sukijan lahir tahun 1954, dan sejak saat itu separuh lebih hidupnya dipersembahkan untuk masjid. Tak peduli hujan deras, angin kencang, bahkan listrik padam, adzan tetap ia kumandangkan.

 

Setengah abad lebih hidupnya dihabiskan untuk satu hal, mengabdi di masjid. Menyapu lantai, menyalakan lampu, mengumandangkan adzan, hingga menabuh beduk. Meski imbalannya kecil, ia tak pernah berpikir untuk berhenti.

 

“Sejak muda saya niatkan ini ibadah. Kalau soal bisyarah atau imbalan, itu urusan belakangan. Saya nggak mikirin itu. Yang penting masjid terurus,” ungkap Mbah Sukijan lirih.

 

Alih-alih memikirkan honor besar dari masjid, Mbah Sukijan bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya mendapatkan hadiah umrah. Dalam pikirannya, ia hanya melaksanakan tugas sejarah sebagai cucu dari waqif (pewakaf tanah) masjid.

 

Ketua Yayasan Masjid Al-Ilham Bakalan Pati KH Umar Farouq yang mengantar Mbah Sukijan bercerita bahwa dedikasi sosok bertinggi badan 183 cm ini benar-benar tiada duanya.

 

“Saya pernah menawarkan pilihan, bertahan dengan honor kecil atau mundur. Mbah Sukijan mantap memilih bertahan,” ungkap Kiai Umar.

 

Dedikasi itu makin terasa dan teruji ketika musim hujan tiba atau terjadi pemadaman listrik. Dalam kondisi sulit sekalipun, Mbah Sukijan tetap berusaha mengumandangkan adzan. “Padahal secara syar’i sudah ada alasan untuk tidak ke masjid. Tapi beliau tetap jalan,” tuturnya.

 

Hadiah kesetiaan

 

Perjalanan umrah ini bagi Mbah Sukijan bukan sekadar hadiah dari PBNU. Akan tetapi juga simbol balasan atas kesetiaan seorang abdi masjid. “Kesetiaannya menjadi teladan, dan Allah menunjukkan caranya memberi hadiah melalui jalan LTM PBNU,” kata Kiai Umar.

 

Dengan menjadi marbot, sudah tentu Mbah Sukijan tidak pernah pergi ke luar kota. “Selama saya menjadi Ketua DKM, beliau hanya izin sekali apa dua kali ke luar kota dalam rangka acara keluarga seperti nikahan. Selebihnya ya nggak ke mana-mana. Paling ke sawah,” ungkap Kiai Umar.

 

Bagi Mbah Sukijan, keberangkatan ke Tanah Suci ini adalah impian panjang yang akhirnya terwujud. Setelah puluhan tahun mengabdi tanpa pamrih, ia kini mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah umroh dengan hati penuh syukur.

 

Ketua Ta’mir Masjid Al-Ilham Ustadz Nur Salim yang turut mengantarkan langsung dari Pati hingga ke bandara Soekarno-Hatta di Tangerang Banten menyebut Mbah Sukijan sebagai sosok unik.

 

“Cara komunikasi Mbah Sukijan sangat sederhana. Bahkan, kadang sulit diajak ngobrol. Tetapi, ia tetap dihormati jamaah karena keistiqamahannya. Banyak jamaah mengkritik beliau, tapi Mbah Sukijan tetap lempeng. Hanya orang tertentu yang bisa ngobrol baik dengan beliau,” ungkapnya.

 

Hingga jelang terbang, ia kembali berpesan kepada Didi Karsidi, aktivis LTM PBNU, yang menemani Mbah Sukijan agar sabar dalam membimbing dan melayani sepenuh hati. “Sebab, beliau ini Bahasa Indonesia saja kurang lancar. Makanya ke mana-mana harus didampingi,” pungkas Nur Salim.