Jakarta, NU Online
Niat puasa ramadhan merupakan rukun atau syarat sah puasa. Ada beberapa pelafalan niat puasa Ramadhan. Perbedaan dalam cara mengucapkan niat puasa Ramadhan ini tidak mengubah makna dasar dari niat tersebut.
Berdasarkan artikel Lafal Niat Puasa Ramadhan di NU Online, menjelaskan bahwa redaksi niat puasa nomor 1 diambil dari Kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu. Redaksi nomor 2 dan 6 berasal dari Kitab Asnal Mathalib. Redaksi nomor 3 dikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam. Sedangkan redaksi nomor 4 dan 5 diambil dari Kitab I’anatut Thalibin.
1. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā
Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”
Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarr-nya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah.
Baca Juga
Tujuh Faedah Puasa Ramadhan
2. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā.
“Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”
Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya.
3. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā.
“Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”
Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr atas badal kata "hādzihi" yang menjadi mudhaf ilaihi dari "Ramadhani".
4. نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ
Nawaitu shauma Ramadhāna
Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan.”
5. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ
Nawaitu shauma ghadin min/'an Ramadhāna
Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan.”
6. نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ
Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna.
Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan.”
Adapun redaksi pelafalan yang tampaknya sulit diterima menurut kaidah gramatikal bahasa Arab (nahwu) adalah komposisi sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةُ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanatu lillāhi ta‘ālā
Redaksi pelafalan tersebut tampaknya sulit diterima menurut kaidah ilmu nawhu karena menganggap kata “Ramadhani” sebagai mudhaf dan diakhiri dengan “sanatu” yang entah apa kedudukan gramatikalnya karena agak jauh ta'wilnya untuk ditarik ke arah mana pun.
Adapun argumentasi madzhab Syafi’i atas kewajiban niat puasa wajib di malam hari ditunjukkan antara lain oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut:
ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر
Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, [Beirut, Darul Fikr: 2007 M/1428 H], juz II).