Tangsel, NU Online
Radikalisme yang terjadi di Suriah memiliki kaitan erat dengan Arab Spring (Musim Semi Arab). Gerakan tersebut selalu menunggangi peristiwa politik yang terjadi. Tak berhenti di Timur Tengah saja, radikalisme menyebar ke berbagai negara, bahkan di Indonesia.
Hal tersebut dikatakan alumnus Universitas Kuftaro Damaskus Suriah M Najih Ar Romadloni di sekretariat Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu, (6/4).
“Saya membaca bahwa pola radikalisme di Indonesia memiliki kesamaan dengan radikalisme yang terjadi di Timur Tengah. Hal tersebut tampak jelas pada tahun 2016-2017 ketika pilkada DKI Jakarta,” kata dia.
Memasuki dunia global (global village), menurut Najih, setiap yang terjadi di suatu negara maka akan berdampak pada negara lain. “Maka terlalu naif apabila kita tidak melihat radikalisme yang berkembang di Indonesia sebagai bagian dari gejala radikalisme yang terjadi di Timur Tengah,” ungkapnya.
Di Suriah konflik selalu terjadi pada hari Jumat, kelompok radikal menyusup di barisan orang-orang yang melakukan solat Jumat. Gerakan tersebut didahului dengan agitasi, hujatan-hujatan di mimbar khutbah, dan propaganda. Hal demikian juga terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh sebagian kelompok tertentu.
Tiap Jumat, mereka memiliki beberapa istilah tersendiri sebagai peringatan aksinya, salah satunya adalah Jum'atul Ghodob yang kemudian dicopas di Indonesia dengan istilah Jum'at kemarahan. Gerakan Jum'atul Ghodob yang diinisiatori oleh Yusul Al-Qaradhawi ini merupakan gerakan yang mengajak sebagian orang untuk meluapkan amarahnya di hari Jumat.
“Tiap pulang Jumat pasti terjadi baku tembak. Bahkan, tak jarang saling lempar bom,” ungkapnya.
Bahkan masjid yang didirikan oleh Bani Umayyah yang selama 1300 tahun berdiri, untuk pertama kalinya tidak mengumandangkan adzan dan ditutup untuk sholat Jumat karena alasan keamanan yang tidak memungkinkan.
“Belum pernah terjadi sebelum Arab Spring ini demo dilakukan di depan masjid. Pasti yang namanya demo ya dilakukan di depan kantor pemerintahan maupun istana negara. Apalagi dilakukannya itu di hari Jumat yang seperti kita kenal bahwa Jumat adalah Jumat Mubarak, yang harusnya penuh dengan keberkahan dan kedamaian,” " katanya.
Hoaks Delegitimasi Pemerintah
Penyebaran hoaks dan propaganda merupakan bagian lain dari gerakan kelompok-kelompok radikal. Tujuannya adalah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. "Tidak bisa tidak, bahwa hoaks dan radikalisme adalah satu paket," tegasnya.
Penyebaran hoaks mereka lakukan sebab terinspirasi oleh hadis yang sebagian redaksinya berbunyi bahwa perang adalah tipu daya. Oleh karenanya, menyebarkan hoaks menjadi bagian dari strategi perlawanan mereka. Padahal jika dicermati, hadis tersebut dikontekstualisasikan ketika terjadi perang.
"Pemilu yang berlangsung di Indonesia itu oleh kelompok radikalis disamakan dengan perang. Jadi, produksi hoaks masif dilakukan. Bahkan, doanya pun doa Perang Badar," imbuhnya.
Menurut Najih, selain mengkritik pemerintah, kelompok radikalis tersebut sangat membenci kelompok minoritas. Meskipun di sisi lain ia selalu memanfaatkan sentimen tersebut. Seperti halnya ketika mereka membenci Syiah maka ia memproduksi pemberitaan bahwa di Suriah pemerintahannya adalah Syiah.
“Kemudian yang terjadi adalah pembantaian kaum Sunni. Seperti halnya ketika mereka mengangkat kasus Rohingya, itu sebenarnya adalah alat untuk memojokkan kaum Budha di Indonesia, serta kasus Uighur yang digunakan untuk membenci etnis Tionghoa,” tambahnya.
Najih juga menjelaskan bahwa penggunaan bendera tauhid merupakan bagian dari propaganda. "Ulama-ulama Suriah sudah menyampaikan bahwa bendera tauhid itu adalah bendera propaganda. Tidak pernah ditemukan kosakatanya baik di Al-Qur'an maupun Hadis,” terangnya.
Pola-pola yang telah dipaparkan di atas tentu dapat dibaca pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Indonesia, utamanya dimulai pada 2016. (Nuri Farikhatin/Musthofa Asrori)