Nasional

Aktivis Lingkungan: Kepentingan Korporasi Perparah Kerusakan Hutan di Sumatra

Rabu, 24 Desember 2025 | 15:30 WIB

Aktivis Lingkungan: Kepentingan Korporasi Perparah Kerusakan Hutan di Sumatra

Kondisi di Pidie Jaya yang masih dipenuhi hamparan kayu gelondongan imbas banjir bandang. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Jakarta, NU Online

Bencana ekologis di Sumatra dinilai kian parah seiring dominasi kepentingan ekonomi korporasi yang mendorong konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit dan kawasan pertambangan. Kondisi tersebut memicu meningkatnya risiko banjir, longsor, dan krisis air di berbagai wilayah sehingga mengakibatkan bencana besar di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.


Aktivis Greenforest Indonesia, Ariz Al Maqdis, menilai deforestasi di Sumatra terjadi karena aspek ekonomi lebih diutamakan dibanding pertimbangan ekologis. Padahal, hutan memiliki fungsi vital sebagai penyangga kehidupan dan keseimbangan alam.


“Salah satu bukti kuatnya adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, maraknya penebangan ilegal, serta pertambangan mineral. Faktor-faktor inilah yang mendorong hilangnya tutupan hutan di Sumatra secara masif,” ujar Ariz kepada NU Online, Rabu (24/12/2025).


Ia menyebut, wilayah yang paling terdampak umumnya berada di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan dan kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS), seperti Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Riau. Kawasan-kawasan tersebut merupakan hutan primer yang kaya keanekaragaman hayati, namun juga menjadi sasaran utama investasi industri.


“Ketika hutan di wilayah hulu rusak, dampaknya langsung dirasakan di hilir, mulai dari banjir, longsor, hingga krisis air bersih,” jelasnya.


Menurut Ariz, industri sawit dan pertambangan memiliki kontribusi besar terhadap kerusakan hutan. Banyak izin usaha yang secara administratif sah, tetapi secara ekologis bermasalah.


“Setiap industri seharusnya memperhatikan aspek lingkungan. Faktanya, banyak izin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem,” katanya.


Ia juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan pemerintah, termasuk dalam pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Di lapangan, tumpang tindih izin kerap terjadi, sehingga kepentingan ekonomi lebih dominan dibanding perlindungan lingkungan.


Keprihatinan serupa disampaikan Sabna Aish Tartila, aktivis lingkungan asal Sukoharjo. Ia menilai penggantian hutan alam dengan perkebunan sawit tidak mampu menjaga kelestarian ekosistem.


“Pergantian pohon hutan dengan sawit tidak bisa menyelamatkan lingkungan. Sejak masa kolonial Belanda saja, Sumatra sudah diakui sebagai kawasan hutan penting dengan keanekaragaman satwa yang harus dilindungi,” ujarnya.


Sabna mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi perlindungan hutan, mulai dari undang-undang hingga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Namun, regulasi tersebut dinilai belum dijalankan secara optimal dan transparan.


“Semua aturan itu ada, tetapi implementasinya lemah. Kebijakan terkesan tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sehingga masyarakat yang paling merasakan dampaknya,” kata Sabna.


Ia menambahkan, kondisi tersebut memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara. Menurutnya, sulit membayangkan kerusakan hutan seluas itu terjadi hanya karena kelalaian.


“Kerusakan yang masif menunjukkan negara seolah kalah oleh kepentingan korporasi besar di sektor sawit dan tambang,” tuturnya.


Sabna berharap penegakan hukum atas bencana ekologis dapat segera dilakukan secara adil dan menyeluruh. Ia mendorong pemerintah mengusut pihak-pihak yang bertanggung jawab, mencabut izin korporasi perusak hutan, serta melakukan reboisasi dengan tanaman lokal berakar kuat dan bernilai ekonomis.


“Tanpa ketegasan negara, bencana ekologis di Sumatra akan terus berulang dan masyarakat kembali menjadi korban,” pungkasnya.