Aktor dan Sutradara Senior Ini Bangga Jadi Murid Tokoh Lesbumi NU
Sabtu, 1 Juni 2024 | 12:00 WIB
Aktor dan sutradara senior Slamet Rahardjo (kiri) selepas menonton pementasa drama berjudul Mahkamah, buah karya gurunya, Asrul Sani oleh mahasiswa Pendidiikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Gedung Pertunjukan Bulungan, Jakarta, Kamis (30/5/2024) (Foto: Dok. Panitia)
Jakarta, NU Online
Aktor dan sutradara senior Slamet Rahardjo mengaku bangga menjadi murid Asrul Sani, sastrawan pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU. budayawan yang lahir di Sumatra Barat pada 10 Juni 1926. Kebanggaan itu diakui Slamet lahir dari karakter Asrul Sani yang tidak pernah berharap dihormati.
“Banggalah. Karena dia tidak pernah minta dihormati,” ujarnya usai menonton pementasan naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani oleh mahasiswa Pendidiikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Gedung Pertunjukan Bulungan, Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Selain itu, kebanggaan disebabkan kecerdasan gurunya yang luar biasa. Suatu ketika, ada rapat yang tak rampung-rampung memutuskan suatu persoalan. Waktu itu, Asrul Sani belum tiba karena terjebak macet. Lalu, ketika gurunya itu datang, rapat pun diulang dan keputusannya berubah mengikuti pandangan Asrul Sani.
“Dia pandai sekali menggiring orang dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,” katanya, “kesedihan luar biasa Asrul pergi tanpa aku di sampingnya,” ujar Slamet.
Lebih-lebih, Slamet menuturkan bahwa Asrul pernah menyatakan kebanggaan atas dirinya yang dianggap sebagai murid yang berhasil.
“Yang paling aku suka, ternyata kau cerdas. Suatu hari, aku menanam suatu dan jadi, itu kau,” demikian ujarnya meniru perkataan gurunya tentangnya itu.
Gara-gara kalimat itu, lanjutnya, ia pernah diminta untuk melanjutkan kiprah sang guru untuk mengemban amanah sebagai Ketua Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebab, Lesbumi sebelumnya juga diemban oleh tokoh-tokoh seni dan perfilman, seperti Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, hingga Asrul Sani. Namun, ia dengan halus menolaknya.
“Aku mau jadi seniman saja. Senangnya jadi NU itu ya kita guyon aja,” katanya.
Slamet menegaskan bahwa Asrul Sani adalah gurunya yang luar biasa. Ia tidak saja mengajarkan bermain peran dan berkesenian, tetapi juga mengajarkan caranya membaca masalah, melihat sesuatu di belakang masalah.
“Kita patut menghargainya. Karena kopral mati diganti kopral lain. Kapten mati diganti kapten lain. Jenderal mati diganti jenderal lain. Tapi, Benjamin S. mati enggak ada gantinya. Asrul Sani mati, tidak ada gantinya,” katanya.
Sementara itu, Syauqi Sani, putra Asrul Sani, mengungkapkan bahwa pementasan Mahkamah oleh mahasiswa PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menarik mengingat ada jarak zaman jauh. Sebagaimana diketahui, dalam karya sastra, Asrul tergolong dalam Angkatan 45, sementara pementasan ini dilakukan oleh para pemain yang rata-rata sudah generasi Z yang kelahirannya di atas 1995. Pun naskah ini sudah 40 tahun sejak kali pertama dipentaskan oleh TVRI.
“Ini menarik karena ini dipentaskan ditampilkan oleh generasi 1995 ke atas. Pak Asrul itu Angkatan 45. Kita lihat setnya masa-masa setelah kemerdekaan. Lalu, mereka ubah dan kembangkan sendiri gerakannya. Walaupun esensinya tidak berubah.
Ia pun mengapresiasi upaya PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mementaskan karya ayahnya tersebut. Memang secara simbol agama, tidak terlalu tampak, tetapi substansi keislamannya sangat kuat dan kentara dalam naskah karya ayahnya itu.