Jakarta, NU Online
KH Bahaudin Nursalim atau Gus Baha dikenal banyak orang dengan kedalaman ilmu agamanya. Walaupun muhibin Gus Baha sudah menjangkau lintas suku dan daerah, tapi rangkaian kalimat yang diutarakan dalam ceramahnya sering menggunakan bahasa Jawa.
"Saya sering dikomplain orang, Gus Anda ini kiai nasional tolong pakai bahasa Indonesia. Justru ini bentuk tawadlu saya, kamu ndak pernah ngrasani dadi kiai," ungkap Gus Baha di kanal Youtube Al Fachriyah diakses NU Online, Jum'at (29/9/2022).
Gus Baha menjelaskan, alasan ia sering ceramah pakai bahasa Jawa karena merasa bahwa dirinya bukan kiai nasional. Sebaliknya, ia malah merasa sebagai kiai lokal yang hanya dikenal oleh orang-orang di daerahnya sendiri, yaitu masyarakat Jawa.
"Jadi saya (pakai) bahasa Jawa itu, justru tawadlu saya. Saya merasa kiai ya di daerah saya, di komunitas saya, ndak merasa kiai global, kiai nasional," ujar rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.
Para nabi, kata Gus Baha, diberi tugas berdakwah dengan menyampaikan kebenaran wahyu ilahi melalui bahasa kaumnya.
"Nabi-nabi saja itu dulu 'idz qala liqaumihi', jadi hanya (di daerahnya). Terus akhirnya, (kata orang tadi) jenengan ngawur saja masih punya dalil katanya," tambah Gus Baha disambut tawa hadirin.
"Sebenarnya saya ndak mau berargumentasi. Supaya kamu tahu bahwa pilihan saya itu ada sanad. Itu saja," imbuhnya.
Ungkapan Gus Baha ini disampaikan dalam kegiatan Daurah Ilmiah 'merawat tradisi sanad keilmuan ulama Nusantara' yang diisi oleh Gus Baha dan Habib Jindan bin Salim bin Jindan dan dihadiri ulama se-Banten dan Jabodetabek. Dalam kesempatan tersebut, moderator sedikit komplain.
"Alhamdulillah masih nyambut (pakai) bahasa Jawa juga walaupun di sini banyak orang Betawi yang gak ngerti," ungkap moderator yang diketahui bernama KH Jamaludin F Hasyim.
Kiai Jamal melanjutkan, Gus Baha terbilang ulama unik karena hanya berkenan mengisi ceramah di acaranya orang-orang tertentu.
"Sebetulnya Gus Baha itu yang kita tahu gak senang ceramah dan hanya mau diundang orang-orang tertentu termasuk Habib Jindan karena ta'dhiman wa takriman. Beliau gak mau ceramah, maunya baca kitab," tandasnya.
Pewarta: Aiz Luthfi
Editor: Syamsul Arifin