Aliansi Perempuan: Menyandingkan Soeharto dan Marsinah Jadi Calon Pahlawan adalah Penghinaan Sejarah
Ahad, 2 November 2025 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Aliansi Perempuan Indonesia menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto. Mereka menilai, penyandingan nama Soeharto dengan aktivis buruh perempuan, Marsinah, dalam daftar calon penerima gelar pahlawan merupakan bentuk pengaburan sejarah dan penghinaan terhadap perjuangan rakyat yang menjadi korban kekerasan negara pada masa Orde Baru.
Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bertema Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Usut Tuntas Kejahatan HAM Orde Baru yang digelar secara daring, pada Ahad (2/11/2025).
Perwakilan Marsinahdotid, Dian Septi, menyebut rencana itu sebagai langkah yang berbahaya bagi ingatan kolektif bangsa.
Menurutnya, Soeharto merupakan simbol kekuasaan militeristik yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM berat, termasuk kasus pembunuhan terhadap Marsinah, seorang buruh perempuan yang aktif memperjuangkan hak pekerja pada awal 1990-an.
“Presiden Prabowo adalah bagian dari Orde Baru. Ia pernah menjadi bagian dari Kopassus, lembaga yang turut terlibat dalam penculikan aktivis 1998. Maka, ketika rezim sekarang berupaya mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, itu bukan sekadar penghormatan sejarah, tetapi juga usaha menghidupkan kembali semangat Orde Baru,” ujar Dian.
Dian menilai penyandingan nama Soeharto dan Marsinah sebagai dua sosok yang sama-sama diusulkan sebagai pahlawan jelas bertentangan dengan fakta sejarah.
"Yang sejalan dengan Soeharto adalah Prabowo, bukan Marsinah. Karena Marsinah adalah korban dari rezim yang menindas buruh dan menghancurkan gerakan perempuan,” tegasnya.
Ia juga mendesak pemerintah untuk terlebih dahulu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum dituntaskan, seperti tragedi 1965, penculikan aktivis 1998, dan pembunuhan jurnalis, sebelum berbicara tentang pemberian gelar pahlawan bagi figur yang memiliki catatan pelanggaran.
“Tidak pantas orang yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan justru dijadikan pahlawan,” katanya.
Pandangan senada disampaikan aktivis Perempuan Mahardika, Mutiara Ika. Ia menilai langkah pemerintah yang memberi penghormatan kepada Marsinah, namun di saat bersamaan membuka peluang Soeharto menjadi pahlawan, merupakan kontradiksi moral dan politik yang serius.
“Bagaimana mungkin di satu sisi memberikan penghormatan kepada buruh yang menjadi korban, sementara di sisi lain juga mengagungkan pemimpin yang menindas buruh pada masa itu?” ujarnya.
Ia menegaskan, pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah seharusnya menjadi bentuk pengakuan terhadap perjuangan buruh dan korban kekerasan negara. Namun ketika hal itu disandingkan dengan pemberian gelar yang sama kepada Soeharto, maka penghormatan tersebut berubah menjadi instrumen pemutihan sejarah.
“Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan untuk Marsinah pada saat ini adalah praktik yang manipulatif dan juga pencucian dosa atas kejahatan Orde Baru, dan kami tidak mau gelar pahlawan untuk Marsinah digunakan untuk praktik manipulasi tersebut,” tegasnya.
Baca Juga
Hari Marsinah, Hari Buruh Nasional
Sejarah tentang Marsinah
Marsinah hanyalah buruh biasa sebagaimana kaum buruh kebanyakan yang meninggalkan kampung halaman selepas lulus SMA untuk bekerja di kota besar. Ia mencoba mengadu nasib dan mengubah keadaan agar keluarga punya kehidupan yang lebih laik.
Sebelum bekerja di pabrik arloji, Marsinah terlebih dahulu bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut, Surabaya. Namun sayangnya, gaji yang diperoleh teramat rendah hingga tak cukup memenuhi kebutuhan.
Akhirnya, pada 1990, ia bekerja di PT CPS, Rungkut, Surabaya. Nurani dan daya kritis Marsinah bergolak karena ada yang tidak beres dari situasi yang terpaksa ia dan teman-temannya terima.
Kegelisahan itu mendorongnya menuntut didirikannya SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Kala itu, hanya SPSI, serikat pekerja yang boleh berdiri dan diakui pemerintah. Lalu pada awal 1992, tuntutan itulah yang membuatnya dipindahkan ke PT CPS cabang di Porong, Sidoarjo.
Suatu hari, di tempatnya bekerja itu terjadi pergolakan dan buruh melakukan pemogokan. Pemogokan berlangsung selama dua hari, pada 3-4 Mei 1993 dengan 12 tuntutan.
Tuntutan tersebut adalah (1) kenaikan upah sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 50 Tahun 1992 dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 sehari yang seharusnya sudah berlaku sejak 1 Maret 1992; (2) Perhitungan upah lembur sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 72 Tahun 1984; (3) Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum; (4) Jaminan kesehatan buruh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek); (5) Penyertaan buruh dalam program Asuransi Tenaga Kerja (Astek); (6) Pemberian THR sebesar satu bulan gaji; (7) Kenaikan uang makan dan transportasi; (8) Pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS; (9) Pembayaran cuti hamil; (10) Penyamaan upah buruh bagi buruh setelah lepas masa training dengan buruh yang sudah bekerja selama satu tahun; (11) Hak-hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut, hanya boleh ditambah; (12) Setelah pemogokan, pengusaha dilarang mengadakan mutasi, intimidasi, dan pemecatan terhadap buruh yang melakukan pemogokan.
Pada pemogokan hari kedua, terjadi perundingan yang menghasilkan seluruh tuntutan dipenuhi selain dibubarkannya SPSI PT CPS. Tuntutan tersebut terhitung sangat politis karena SPSI pada masa itu merupakan satu-satunya organisasi serikat pekerja yang diperbolehkan berdiri di masa Orde Baru.
SPSI menjadi "kepanjangan tangan" penguasa untuk mengontrol gerak kaum buruh. Tak heran, bila kemudian buruh PT CPS Sidoarjo gerah dan memilih mengorganisasi pemogokan sendiri tanpa campur tangan SPSI yang dianggap tidak mewadahi kepentingan anggota.
Esok harinya, pada 5 Mei 1993, 13 perwakilan buruh yang menjadi negosiator dibawa ke Kodim 0816 Sidoarjo, dipaksa mengundurkan diri dan menerima pesangon dari perusahaan. Situasi tersebut terbilang tidak masuk akal bagi Marsinah.
Hal itu kemudian berujung dengan keputusan Marsinah melayangkan surat protes yang ia titipkan ke pos satpam pabrik.
Marsinah sempat berkunjung ke beberapa temannya terkait surat protes yang ia susun, meng-copy dan membagikannya kepada teman-temanya. Pada hari yang sama, bahkan Marsinah sempat ke Makodim Sidoarjo guna mencari kabar 13 kawannya tersebut. Hari itu, 5 Mei 1993, tepatnya saat Maghrib, adalah hari terakhir Marsinah terlihat.
Pada 7 Mei 1993, saat buruh PT CPS masuk kerja seperti biasa, Marsinah tidak terlihat. Beberapa hari setelahnya, Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan akibat penganiayaan kelewat brutal.
Kini setelah 32 tahun berlalu, misteri tentang kematian Marsinah masih menjadi tanda tanya. Tanda tanya itu terus berulang meski sudah hampir tiga dasawarsa reformasi bergulir.