Nasional

Alumni IPNU Usulkan Mekanisme Ahwa untuk Syuriyah dan Tanfidziyah

Kamis, 11 Juni 2015 | 08:59 WIB

Jakarta, NU Online
Majelis Alumni IPNU perubahan proses pemilihan pemimpin dengan menggunakan mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) tidak hanya diberlakukan untuk memilih rais aam PBNU tetapi juga untuk memilih ketua umum tanfidziyah. 
<>
Asrorun Niam Sholeh, sekretaris jenderal Majelis Alumni IPNU menjelaskan, NU adalah organisasi kumpulan ulama dan pengikutnya. Untuk itu, kepemimpinan NU adalah kepemimpinan ulama. Kepemimpinan ulama tidak hanya termanifestasi dalam figur pemimpinnya, tetapi juga menjelma dalam perilaku organisasi.

Sebagai organisasi kumpulan ulama dan pengikutnya, maka sudah saatnya kepemimpinan NU harus meneguhkan supremasi ulama. Dalam hal ini, syuriyah sebagai pengendali utama organisasi, dan tanfidziyah sebagai pelaksana.

Menurutnya kepemimpinan ulama itu "given", pendekatannya kualitatif. Dengan demikian, kepemimpinan yang menekankan aspek kharisma karena faktor kealiman, kefaqihan, kezuhudan, dan juga kewira'ian tidak dapat diperoleh melalui pemungutan suara yang pendekatan kuantitatif. 

“Penentuan kefaqihan seseorang tidak pas jika diperoleh melalui voting. Di sinilah urgensi mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi. Serahkan saja pada ahlinya," katanya di Jakarta, Kamis (10/6).

Sementara, tanfizdiyah adalah pelaksana dari kebijakan yang ditetapkan oleh syuriyah. Sebagai pelaksana atas kebijakan, ia adalah sosok yang memperoleh kepercayaan (amanah) dari syuriyah. Untuk itu, tanfidziyah adalah pengemban amanah yang terpercaya (amiin), pelaksana kebijakan-kebijakan yang ditetapkan syuriyah. 

“Dengan demikian, ia lebih tidak layak untuk ditetapkan melalui voting langsung. Bisa dengan penunjukan syuriyah, atau sekaligus melalui Ahlul Halli wal Aqdi, tapi grade-nya sebagai pelaksana. Pemberi mandat kepada tanfidziyah adalah syuriyah, ia sebagai mandataris syuriyah,” imbuhnya.

Ia menegaskan, syuriyah dan tanfidziyah itu ibarat dua sisi mata uang, yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki posisi vital. Tidak pas dan tidak elok jika persyaratan ideal kepemimpinan syuriyah diperketat, dengan idealisasi yang sangat normatif sebagai pemimpin organisasi ulama dengan kesuciannya, sementara ada permisifitas terhadap mekanisme pemilihan tanfidziyah,  

“seolah mentolelir dan memberikan permakluman terhadap kondisi yang tidak ideal, kepentingan politis, pragmatis, dan sifat-sifat yang lain yang mencederai moralitas keulamaan pada proses penentuan kepemimpinan tanfidziyah. Ini yang kemudian bisa dibaca sebagai unfair.” (Mukafi Niam)


Terkait