Amnesty Sebut Pelajar Ikut Unjuk Rasa Miliki Kesadaran Politik yang Tinggi: Jangan Diberi Sanksi
Rabu, 10 September 2025 | 22:45 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyebut bahwa para pelajar yang ikut unjuk rasa, baik saat akhir Agustus 2025 maupun pada waktu-waktu lain, memiliki kesadaran politik yang tinggi layaknya semangat revolusi kemerdekaan Indonesia di masa lalu.
"Seharusnya kita bersyukur bahwa pelajar yang usianya belasan tahun itu ikut turun ke jalan. Itu artinya kesadaran politik mereka tinggi, sama seperti masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Yang turun ke jalan, yang berevolusi itu adalah anak-anak muda," katanya saat ditemui NU Online di Taman Ismail Mazuki, Jakarta Pusat, pada (10/9/2025).
Ia menyinggung karya seorang antropolog Benedict Richard O’Gorman Anderson yang menulis tentang peran pemuda dalam perjuangan kemerdekaan. Menurut Ben, kata Usman, revolusi pemuda saat melawan kolonialisme berada pada usia 15-19 tahun.
"(Pemuda itu) gelisah dengan berbagai upeti pajak yang diterapkan oleh kolonial ketika itu dan perampasan aset-aset keluarga mereka, ayah, paman mereka, sampai akhirnya mereka melawan balik, merampas ulang upeti-upeti," kata Usman.
"Yang sekarang itu terjadi, tentu tidak dalam upeti melainkan dalam bentuk pajak yang ditingkatkan, sementara banyak orang-orang kaya yang hanya segelintir dan menguasai mayoritas aset Indonesia terutama tanah itu seperti tidak tersentuh, banyak yang tidak tersentuh oleh perpajakan. Baik itu menghindari pajak tax avoidence maupun mengemplang pajak," jelasnya.
Ia juga menyoroti aksi demonstrasi sebelumnya yang dipicu oleh keresahan para pelajar terhadap kondisi pendidikan, terutama rendahnya upah guru.
"Guru-guru mereka bahkan dipandang sebagai beban anggaran negara. Padahal pendidikan itu dalam konstitusi adalah tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan artinya pendidikan itu harus gratis," tegas Usman.
Ia menyayangkan para pelajar yang mencoba tetap bersekolah sambil menyuarakan pendapat melalui unjuk rasa justru menghadapi ancaman, antara lain pencabutan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan kemungkinan dikenai sanksi.
Usman mengecam tindakan sekolah-sekolah yang tunduk pada tekanan untuk menghentikan bantuan pendidikan atau mengeluarkan siswa yang ikut serta dalam unjuk rasa.
"Jadi saya menyerukan kepada sekolah-sekolah untuk tidak mendengarkan anjuran atau permintaan atau tekanan dari negara untuk memberhentikan KJP atau untuk memberhentikan pelajar dari sekolah-sekolah mereka," tegasnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar aparat segera membebaskan para pelajar, mahasiswa, dan aktivis yang ditangkap secara semena-mena.
"Dan hak-hak mereka dipulihkan karena banyak dari mereka yang mengalami penangkapan sewenang-wenang termasuk mengalami kekerasan, mengalami pemukulan, mengalami penyiksaan," ujarnya.
Ia mengungkapkan kisah tragis kematian Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Iko Juliant (19) yang sebelum meninggal sempat mengigau akibat trauma penyiksaan oleh polisi.
"Itu artinya pemukulan (dan) penganiayaan itu begitu dalam, begitu melukai raga, jiwa dari seorang pelajar," jelasnya.
"Jadi sayang sekali 11 tunas muda, 11 nyawa harus pergi, harus mati untuk sebuah sikap yang seharusnya bisa diubah oleh pemerintah sedari awal," pungkasnya.