Jakarta, NU Online
Jauh sejak era Walisongo, pesantren telah menjadi pusat kaderisasi para dai yang hendak dikirim ke luar Jawa. Dalam hal ini, Ampel Denta yang yang dipimpin oleh Sunan Ampel di Surabaya menjadi lahan persemaian kaderisasi dai saat itu. Demikian disampaikan oleh Gus Rizal Mumazziq saat mengisi Studium General di Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta, Kamis (12/8).
“Para santri, termasuk santri Ampel Denta, yang dianggap mumpuni akan dikirim ke wilayah Nusantara Timur melaui rute armada dagang yang dikelola baik oleh Nyi Gede Pinatih, salah satu saudagar kaya di Tuban,” jelas Rektor Institut Islam al-Falah As-Sunniyyah Kencong, Jember, Jawa Timur itu.
Dalam Stadim General yang bertajuk Pesantren dan Sejarah Islam di Indonesia tersebut, Gus Rizal menjelaskan, Sunan Giri yang merupakan anak angkat Nyi Gede Pinatih, menjadi santri kinasih Sunan Ampel. Berikutnya, Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton sebagai titik pijak penyebaran Islam.
“Jika di Sumatra ada kerajaan Aceh yang punya reputasi politik dan dakwah jempolan dalam kurun abad ke-XVI-XVII, maka di era yang sama, Giri Kedaton memainkan peranan yang sama. Khususnya pada penguatan jaringan Islam di Nusantara Timur, “ jelas Gus Rizal.
Dengan mengutip Kiai Ahmad Baso, penulis yang konsen di penelaahan naskah klasik Nusantara, Gus Rizal menjelaskan, Giri Kedaton menjadi sentra pendidikan kaum bangsawan Muslim dari wilayah Timur. Sebelum menjadi dilantik menjadi raja, seorang pangeran terlebih dahulu akan dikirim ke Giri Kedaton untuk belajar agama dan tata negara.
Giri Kedaton menjadi perlambang resmi bagi para sultan dari berbagai daerah. “Tak sah rasanya seorang sultan belum mendapatkan legitimasi dari Kedaton,” tutur Gus Rizal.
Selanjutnya, dengan merujuk buku Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur yang ditulis oleh Hilful Fudhul Sirajuddin Jafar, Gus Rizal mengungkapkan, berbagai naskah lokal yang bersumber dari notula dakwah maupun catatan para penulis keraton luar Jawa di masa silam, menunjukkan relasi erat, alih-alih dominasi Budaya Jawa atas budaya lain, antara Jawa sebagai sentral dan kawasan lain sebagai penyangga.
“Sanad ilmiah, ideologis, dan ruhaniyah, tersimpul rapi satu dengan yang lainnya,” imbuhnya.
Gus Rizal melanjutkan, kajian Lontara di Bugis, dari Lontara Goa, Lontara Wajo, Sangaji Kai, dan sebagainya juga memperkuat pendapat simpul keilmuan ini.
Dijelaskan Gus Rizal, Sunan Kalijaga juga turut berkontribusi dalam proyek pengkaderan dai ini. Hanya saja, cara yang ditempuh Sunan Kalijaga adalah dengan melakukan kaderisasi di setiap daerah. “Ada banyak jejak menunjukkan keberadaan Walisongo yang dikaruniai usia panjang ini, biasanya ditandai dengan adanya petilasan,” terangnya.
Dari apa yang dipaparkan Gus Rizal, jelas bahwa upaya yang dilakukan Walisongo dalam misi dakwah Islam adalah dengan lebih berkonsentrasi pada aspek dakwah dan kiprah pendidikan, bukan kekuatan politik.
“Ini yang tampaknya menjadi kunci dari keberhasilan dakwah damai di kawasan Nusantara yang membentang dari Pattani, Malaysia, Singapura, Brunei, Mindanao-Filipina, dan Indonesia,” papar penulis buku berjudul Kiai Kantong Bolong itu.
Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Syakir NF