Jombang, NU Online
KH Salahuddin Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah melanjutkan kepemimpinan Pesantren Tebuireng dari KH M Yusuf Hasyim atau Pak Ud sejak 13 April 2006.
Sejak mendapat amanah tersebut, adik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengembangkan pesantren. Dan, selama hampir 14 tahun memimpin Pesantren Tebuireng, Gus Sholah banyak menelurkan gagasan penting untuk mengembangkan pesantren.
Bahkan hingga kini, Pesantren Tebuireng telah memiliki 15 cabang di sejumlah kota di Tanah Air. Lebih rincinya sebagai berikut: Pesantren Tebuireng Pusat di Tebuireng, Cukir, Jombang. Tebuireng II di Jombok, Ngoro, Jombang, Tebuireng III, Hajarun Najah, Indragiri Hilir, Riau, Tebuireng IV, al-Islah Indradiri Hulu, Riau, Tebuireng V, Ciganjur, Jakarta, Tebuireng VI, Binaumma, Cianjur.
Tebuireng VII, Miftakhul Khoir, Bolaang Mongonowan Timur, Sulut, Tebuireng VIII, Petir, Serang, Banten. Tebuireng IX, al-Kamal, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatra Utara, Tebuireng X, al-Hijaz, Rejang Lebong, Bengkulu, Tebuireng XI di Ambon Maluku.
Tebuireng XII, Darul Shalihin, Tulang Bawang Barat, Lampung, Tebuireng XIII di Pandeglang, Banten. Sedangkan Tebuireng XIV di Madani, Bintan, Kepulauan Riau, serta Tebuireng XV di Samarinda, Kalimantan Timur.
Inovasi Tiada Henti
Dalam sebuah kesempatan, Gus Sholah menyampaikan bahwa begitu banyak kalangan yang mempercayakan lahan dan pengelolaaan lembaga pendidikan Islam kepada Pesantren Tebuireng. Di antara mereka bukan termasuk alumni, namun memiliki kepercayaan tinggi bahwa dengan dikelola Pesantren Tebuireng, maka akan lebih manfaat dan berkembang.
Sama seperti ayahandanya, KH A Wahid Hasyim yang memiliki inovasi terkait bagaimana memajukan pesantren. Karena seperti diketahui, saat itu menawarkan serta mendidik santri dengan mata pelajaran umum. Mengenalkan model klasikal, serta mengakrabkan bahasa asing di luar Bahasa Arab kepada santri.
Ketika Gus Sholah melanjutkan kepemimpinan juga menempuh aneka terobosan yang tidak banyak dilakukan pesantren kebanyakan. Salah satunya adalah memodernisasi sistem pendidikan.
Hal itu antara lain dibuktikan dengan para ustadz dan guru diminta menyusun prosedur standar operasi bagi kegiatan belajar-mengajar setelah dilatih tim konsultan profesional. Sistem full day school diterapkan di semua unit pendidikan mulai 2007. Bahkan, para pembina santri dibekali pelatihan kedisiplinan dan psikologi sehingga mereka dapat menjalankan tugas dengan baik. Dibangun gedung-gedung baru sebagai sarana penunjang pendidikan.
Salah satu terobosan Gus Sholah ialah mendirikan lembaga pendidikan baru bernama SMA Trensains yakni pesantren dan sains pada 2013. Sekolah hasil kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menggabungkan sistem pendidikan agama ala pesantren dan nasional dengan sains.
Kata Gus Sholah, pembelajarannya mengedepankan dialektika agama dengan sains agar lulusannya beriman dan takwa sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam catatan salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Robikin Emhas, tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada pesantren dengan pola pendidikan demikian. Sejauh ini, pesantren memang lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan keagamaan meski belakangan telah banyak yang mengadopsi sistem pendidikan nasional. Kalaupun ada niat, biasanya hal itu ditentang banyak orang karena dianggap menyimpang.
Namun, Gus Sholah berani membuat keputusan 'menyimpang' dari tradisi sekaligus revolusioner bagi kalangan pesantren dan NU. Bagaimanapun, NU dan umat Islam secara umum harus menyiapkan generasi yang melek sains serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan.
Keputusan Gus Sholah mendirikan SMA Trensains itu memang visioner. Ia sedang meramal bahwa masa depan santri ada di situ. Para santri harus mengisi peradaban dunia sebagaimana para ilmuwan Muslim terdahulu, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averoes), Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Biruni, Al-Farabi, dan lain-lain. Gus Sholah sudah membukakan jalan bagi santri generasi mendatang meski sejak awal dia tahu tak akan menikmati hasilnya.
Mempertahankan Tradisi
Meskipun memiliki visi yang demikian, Pesantren Tebuireng masih kukuh dengan tradisi lama yang memang layak dipertahankan. Karena di pesantren ini masih ada lembaga dengan konsentrasi kepada kajian Islam klasik.
Ada Madrasah Mu’allimin yang berada di sebelah makam Pesantren Tebuireng. Madrasah dengan masa studi enam tahun tersebut didesain untuk melapis calon santri dengan kemampuan dalam hal penguasaan kitab kuning.
Bukan itu saja, para santri yang menempuh pendidikan di madrasah ini justru memperoleh subsidi selama belajar. Hal tersebut sebagai bentuk kepedulian pesantren akan masa depan para calon ulama di masa mendatang. Demikian pula masih berdiri dengan gagah Ma’had Aly Tebuireng yang memiliki konsentrasi dalam ilmu hadits.
Di sekitar pesantren berdiri lembaga pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kampus yang menjadi kebanggaan di samping ma’had aly adalah Universitas Hasyim Asy’ari atau Unhasy. Bahkan bila tidak ada kendala akan segera membuka fakultas kedokteran seiring dengan keinginan pesantren untuk membangun rumah sakit hasil kerja sama dengan Dompet Dhuafa beberapa waktu berselang.
Demikianlah aneka ikhtiar yang dilakukan KH Salahuddin Wahid. Kendati usianya tidak muda, namun visi untuk mengembangkan pesantren agar menjadi jujugan umat terus dilakukan. Tak peduli dengan usia, perbaikan dalam segala hal harus dilakukan demi khidmah yang terbaik bagi umat dan bangsa.
Tiga Obsesi
Secara khusus, Gus Sholah mengemukakan bahwa masih ada tiga obsesi yang akan dilakukan dalam memajukan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut secara khusus disampaikan kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Hal itu disampaikan Khofifah saat memberikan sambutan atas nama Pemerintah Provinsi Jawa Timur di area pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Senin (3/2) lalu.
"Atas nama pemerintah provinsi dan masyarakat Jawa Timur, kami menyampaikan duka mendalam. Pekerjaan rumah kita setelah kepergian Gus Sholah adalah menjaga persatuan," katanya hingga menyebut persatuan hingga tiga kali.
Disampaikan perempuan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU tersebut, bahwa ada tiga hal yang menjadi harapan Gus Sholah.
"Kepada dzurriyah atau keluarga Pesantren Tebuireng hendaknya mewujudkan tiga hal ini sebagaimana harapan Gus Sholah yaitu lembaga pendidikan, rumah sakit modern dan bank syariah," ungkap Khofifah.
Bagi Khofifah, Pesantren Tebuireng telah berkembang dengan demikian membanggakan. Perkembangan semenjak Gus Sholah menjadi pengasuh, maka lembaga pendidikan di Pesantren Tebuireng demikian berkembang pesat.
"Tidak semata bangunan dan fisik pesantren dan lembaga pendidikan, juga mutu dari lembaga yang ada," ungkapnya.
Yang juga penting untuk diwujudkan adalah keberadaan rumah sakit modern yang berada di sebelah Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari. Karena Gus Sholah dan Dompet Dhuafa menginisiasi pendirian Rumah Sakit Hasyim Asy'ari. Peletakan batu pertama pendirian layanan kesehatan tersebut dilaksanakan pada 19 September 2018 oleh Mundjidah Wahab selaku pelaksana tugas (Plt) Bupati Jombang saat itu.
Rumah Sakit Hasyim Asy’ari merupakan rumah sakit keenam yang dibangun dari dana umat melalui Dompet Dhuafa. Tanah seluas satu hektare yang menjadi tempat didirikannya, merupakan wakaf dari keluarga besar KH Hasyim Asy’ari.
Sedangkan harapan ketiga dari Gus Sholah yakni berdirinya Bank Syariah Pesantren Tebuireng. "Diharapkan dzurriyah Pesantren Tebuireng dapat mewujudkan tiga obsesi Gus Sholah tersebut," harap Khofifah.
Takdir berkata lain, akhirnya Gus Sholah mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Barat pada Ahad (2/2). Betapa banyak pihak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Benar kata KH Mustofa Bisri bahwa sosok Gus Sholah bukan semata miliki warga NU, tapi juga seluruh negeri ini turut berduka atas kepergiannya. Selamat jalan Gus Sholah.
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Kendi Setiawan