Daerah

Pustaka Tebuireng, Upaya Gus Sholah Hormati Kontribusi sejumlah Tokoh

Senin, 3 Februari 2020 | 08:30 WIB

Pustaka Tebuireng, Upaya Gus Sholah Hormati Kontribusi sejumlah Tokoh

Logo Pustaka Tebuireng. (Foto: Fanpage Pustaka Tebuireng)

Jombang, NU Online
Kepergian KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) meninggalkan kesedihan yang luar biasa kepada para santri, jamaah, dan Nahdliyin.
 
Salah satu yang terpukul berat atas wafatnya Gus Sholah adalah Kepala Penerbitan Tebuireng Ahmad Faozan. Sejak kabar kepergian sang kiai sampai ke telinganya membuat ia tak bisa tidur hingga pagi hari.
 
Beberapa hari lalu, tepatnya pada Rabu siang 22 Januari 2020 ia masih sempat berkirim pesan pendek mengabarkan kepada Gus Sholah soal kiriman tiga ratusan buku untuk temannya yang ada di Surabaya. Tak berselang berapa lama kemudian Gus Sholah pun membalas pesan, "Terimakasih." Jawab beliau. Lalu balik bertanya masih ada sisa berapa buku?"
 
Gus Sholah memang dikenal dengan sifat teliti dan sistem manajemen yang rapi. Sehingga hal kecil pun kadang diperhatikannya.
 
"Kami yang saat itu baru saja mengerjakan tugas-tugas khusus dari yai, siang hari itu sejenak berhenti, sambil menikmati udara d bawah pohon mangga. Lima menit kemudian kami bergegas menghitung ulang jumlah buku dalam kardus yang dimaksud," katanya, Senin (3/2).
 
Lanjutnya, meskipun sebenarnya data buku sudah dalam genggaman tim namun ia dan kawan-kawannya mencoba memastikan lagi untuk menghitung ulang. Khawatir, ada yang belum kehitung.
 
Seperti sang ayah KH A Wachid Hasyim, Gus Sholah juga gemar sekali membaca buku, mengkliping koran dan menulis berbagai isu terkait pendidikan, NU, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kebangsaan di berbagai media.
 
"Sesaat kemudian saya kembali mengirim pesan kepada beliau, seratus lima puluh buku, yai," jawab Faozan.
 
Dalam kondisi apapun, berkaitan buku Kiai Salahuddin memang selalu ingat. Kondisi sakit, tiba-tiba muncul tulisannya di mana-mana setelah membaca cukup banyak buku.
 
Wujud nyata kecintaannya pada buku yaitu pendirian Pustaka Tebuireng, didirikan pada tahun 2010. Pustaka Tebuireng merupakan sebuah lini yang ada di unit penerbitan. Pustaka Tebuireng menjadi ajang untuk memberikan penghormatan kepada para pendahulunya lewat buku. Dengan mengajak para santrinya untuk menuliskan tokoh-tokohnya menjadikan hal yang sangat berarti.
 
Generasi santri Tebuireng menjadi lebih dekat dan mengerti jejak tokohnya. Mengabadikan para tokoh Tebuireng lewat buku merupakan suatu hal yang sangat istimewa dan jarang dilakukan oleh santri pondok pesantren.
 
Lewat Pustaka Tebuireng, Faozan merasa diajarkan banyak hal. Misalnya, diajarkan supaya ikut berjuang memberikan apresiasi kepada sejumlah tokoh yang berjasa kepada tokoh-tokoh Pesantren utamanya Pesantren Tebuireng dan NU dalam bentuk buku. 
 
"Lebih dari itu kami diajarakan soal tanggungjawab, istiqamah, jujur, komunikatif, terbuka, mandiri, dan lain sebagainnya," tambahnya.
 
Tahun 2020 ini sebenarnya ada sejumlah buku yang rencana akan diterbitkan Pustaka Tebuireng atas saran Gus Sholah. Tentu saja sudah melalui diskusi panjang dan menyangkut potensi pasarnya. Dari mulai buku bertemakan aswaja, tokoh NU terlupakan, dan masyayikh Tebuireng serta lainnya. Masih dua judul buku dari rencana yang sudah disusun dan telah diterbitkan ulang yang selesai di bulan Januari 2020. 
 
Faozan mengaku, masih ada sekian banyak agenda terencana yang akan diwujudkan Penerbitan Tebuireng. Buku kerja berhalaman cukup tebal di kantor belum selesai dibaca dan pelajari tuntas. Baru bab pertama di bulan Januari lembaran kerja dibuka, tiga buku permintaan Gus Sholah sudah siap cetak. Ada sekian buku dalam antrian.
 
"Kiai mengontrol kita mingguan, bulanan, bahkan lebih ekstrim via mimpi dan SMS dadakan sewaktu dirasani. Apalagi ngawur tambah tidak mungkin berani," ujarnya.
 
Sejak 2016 hingga kini sudah ada puluhan buku yang diterbitkan Pustaka Tebuireng. Seakan tahu tak lama lagi di dunia, sebelum berangkat ke Jakarta mau cek kesehatan Gus Sholah sempat pamit kepada tim Pustaka Tebuireng. Gus Sholah mengajak diskusi sekitar satu jam lebih membahas banyak hal.
 
Dari sana terlihat mimpi sang kiai sangat tinggi bagi kemajuan intelektual muda, pesantren, NU, dan, Indonesia. Kiai Salahuddin juga ingin mewujudkan penerbitan yang mandiri. Yang mampu memberikan ruang kreatif bagi guru dan santri yang mau menulis buku. Memberi manfaat seluas-luasnya. Terbuka untuk siapa saja.
 
Sekumpulan tulisan Gus Sholah juga telah dibukukan dan menarik untuk dibaca siapa saja. Semoga yang belum terbit dapat dihadirkan kembali. Ide dan gagasannya akan terus hidup. 
 
"Semoga kita dapat melanjutkan perjuanganmu minimal dalam hal perbukuan," jelasnya.
 
Bersama Gus Sholah, tim Pustaka Tebuireng tidak terlalu khawatir akan tidak ada logistik, bahkan juga sudah tidak takut akan kelaparan, kekurangan, keterbatasan, keterpinggiran. Dan terbukti berkat barokah doa dan bimbingan Gus Sholah Pustaka Tebuireng bisa mandiri.
 
Terbukti, lima tahun ke belakang Pustaka Tebuireng dapat bertahan hidup dengan segala dinamika dan tantangannya. Ini menjadi modal yang sangat berharga bagi tim untuk terus belajar berkhidmah kepada kiai dan pesantren.
 
Dalam berjuang cucu KH Hasyim Asy'ari ini mengajarkan kesederhanaan, tidak takut salah, selalu berpikir positif, optimis, welas asih, menghargai perbedaan pendapat, berkhidmah, kejujuran, keterbukaan, kepedulian, dan lainnya. 
 
"Meskipun, kini engkau telah beristirahat dari dunia perbukuan, kami yang masih diberikan kesempatan hidup tidak akan berhenti untuk terus belajar, membaca, menulis, berdiskusi, dan menyalakan api literasi dalam diri, selamat jalan yai," tutup Ahmad Faozan.
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin