Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hj Ala'i Nadjib pada Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis-Jumat (1-2/8/2024) malam (Foto: Ahmad Naufa/NU Online)
Yogyakarta, NU Online
Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hj Ala'i Nadjib mengungkapkan, masalah-masalah atau isu yang skalanya bersifat strategis nasional tidak boleh diputuskan oleh pengurus yang secara hierarkis atau tata tingkatan di daerah.
"Karena ini menyangkut keputusan yang strategis dan nasib banyak orang," ungkapnya di sela mengisi Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis-Jumat (1-2/8/2024) malam.
Menurutnya hal itu penting karena terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta persoalan yang menyangkut jamaah banyak harus dibunyikan oleh satu suara saja, yaitu PBNU.
Baca Juga
Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU
"Lain dengan hal-hal yang lingkupnya masih khilafiyah dan skalanya bisa didinamisir di lokal," ungkap perempuan kelahiran Kudus, 5 Desember 1971 itu.
Ia mencontohkan, keputusan "yang dibunyikan" oleh Lembaga Bahtsul Masail PWNU DI Yogyakarta dan LBM PWNU Jawa Timur tentang zat pewarna.
"Ini kan berdasarkan kebutuhan dan mungkin juga sail (penanya)nya dan juga konteksnya. Ini berbeda misalnya kalau sikap kita terhadap sesuatu yang bersifat internasional, kemerdekaan suatu bangsa, ataupun dukungan terhadap sikap politik dan yang lainnya," urai Ala'i.
Akademisi UIN Jakarta itu mengungkapkan, keputusan-keputusan yang besar tidak hanya soal berskala nasional, tetapi juga soal momentum. Misalnya dalam bagaimana menyikapi sunat perempuan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi baru-baru ini.
"Walaupun keputusan tentang khitan (sunat) pada Muktamar Makassar 2010 itu juga ada celah, bukan ada celah ya, tapi hukum atas khitan itu dengan melihat mazhab-mazhab yang ada, tidak hanya menuju satu yang itu bersifat wajib," ungkapnya.
Ala'i kembali mencontohkan, misalnya tentang Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). NU secara organisasi dalam menyikapi atau merespons UU DKJ itu mestinya tidak parsial, misalnya pengurus wilayah atau pengurus cabang punya keputusan sendiri-sendiri.