Bangun Kesadaran Ekologis, Pengelolaan Sampah di Pesantren Perlu Berkelanjutan
Selasa, 28 Oktober 2025 | 22:00 WIB
Acara Halaqah Membumikan Ekoteologi untuk Mewujudkan Keadilan Ekoteologi di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025). (Foto: NU Online/ Jannah)
Jakarta, NU Online
Program Manager Waste Management Pesantren Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Fitria Ariyani menyampaikan bahwa membangun kesadaran ekologis perlu dilakukan melalui implementasi eco pesantren dan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Fitria menyampaikan bahwa telah mendampingi sepuluh pesantren yang berada di Pulau Jawa dalam membangun sistem bank sampah, mulai dari pengecekan lapangan, pembentukan struktur organisasi, hingga monitoring dan evaluasi rutin.
Ia mengatakan bahwa pesantren-pesantren tersebut berhasil memanfaatkan sampah organik dan anorganik menjadi sumber daya produktif.
“Sampah organik diolah menggunakan maggot yang menghasilkan pupuk dan pakan untuk ayam serta ikan, sementara sampah anorganik dijadikan kerajinan,” ujarnya dalam Acara Halaqah Membumikan Ekoteologi untuk Mewujudkan Keadilan Ekoteologi di Hotel Acacia, Jakarta Pusat pada Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, hasil dari pengolahan sampah cukup signifikan. Setiap pesantren berhasil mengurangi sampah organik sebanyak 50–200 kilogram per bulan. Selain itu, pengelolaan maggot juga menghasilkan ternak lele hingga 200 kilogram dan telur ayam sebanyak 30–300 butir setiap bulan.
“Ini pencapaian luar biasa. Pesantren telah membuktikan bahwa sampah dapat menjadi sumber daya. Harapannya, gerakan ini terus berlanjut dan menginspirasi pesantren lain,” ucapnya.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, KH Muhammad Yusuf Chudlori menyampaikan bahwa sekarang banyak santri yang peduli akan lingkungan, bahkan terlibat aktif dalam pengelolaan sampah.
“Santri yang ngurus sampah sering dianggap rendah, padahal mereka menjaga kesucian tempat ilmu, yaitu pesantren,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pembiasaan santri untuk memilah dan mengelola sampah di pesantren bukan merupakan tindakan perbudakan, justru menjadi pembiasaan sejak dini untuk menjaga lingkungan.
“Ini merupakan pendidikan karakter, bagaimana santri-santri paham menjaga lingkungan, kebersihan, tentu santri akan menjadi sehat dan kita telah menanamkan mindset bagi santri,” katanya.
Vice President Public Affairs, Communications, and Sustainability for Indonesia Coca-Cola Europacific Partners, Lucia Karina menyampaikan hal yang serupa bahwa pesantren merupakan pendidikan karakter, salah satunya mengajarkan pelestarian lingkungan.
Karina menambahkan bahwa pesantren memiliki kekuatan sosial dan spiritual untuk mengubah perilaku masyarakat. Melalui pendampingan dan edukasi, pesantren bisa menjadi pusat pembelajaran pengelolaan sampah dan energi terbarukan.
“Pesantren memiliki peran strategis sebagai penggerak untuk santri, para pengasuh, hingga masyarakat di sekitarnya. Jika kesadaran ekologis tumbuh di sana, dampaknya akan sangat luas, terbukti dari pemaparan Mba Fitria sudah terlihat dampaknya,” ucapnya.
Ia berharap pesantren terus melanjutkan pengelolaan sampah dan terus berkolaborasi dengan pihak stakeholder untuk memperkuat gerakan Eco Pesantren.
“Lingkungan yang lestari adalah tanggung jawab bersama. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan itu,” ujarnya.