Waryono Abdul Ghafur saat didaulat berbicara tentang Peta Jalan Kemandirian Pesantren dalam kegiatan Penyusunan Peta Potensi Kelembagaan Pesantren yang diinisiasi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. (Foto: NU Online/ Musthofa Asrori)
Depok, NU Online
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, H Waryono A Ghafur, memiliki pendapat menarik terkait fenomena banyak pesantren di daerah yang sebenarnya berkenan menerima bantuan, namun jadi tidak berkenan ketika dihadapkan adanya kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ). Menurut dia, memang Undang-undang Pesantren seperti dua sisi mata uang.
“Satu sisi, undang-undang ini menunjukkan bahwa negara itu pengen hadir untuk pesantren. Tapi, yang namanya keuangan negara itu masih menggunakan paradigma PMK, artinya harus ada proposal, harus ada laporan, yang ini bukan tradisi pesantren. Sebab, pesantren itu tadi bahwa ia berdiri sejak awal sudah mandiri maka nggak ada proposal,” terangnya, Kamis (22/4).
Untuk menengahi masalah tersebut, pihaknya pernah menyampaikan di Kementerian Keuangan perlu regulasi yang lebih soft (lembut) agar bisa diterima oleh komunitas pesantren sesuai dengan tradisinya tanpa mengurangi arti tanggung jawab pesantren atas penggunaan uang negara.
“Pengennya sih gitu. Jadi, hari ini kita masih percaya bahwa orang pesantren itu kira-kira la tajtami’u ummati ala al-dhalalah (orang pesantren nggak mungkin bersepakat berbuat kebatilan). Nah, ketika mereka dhalalah itu sebenarnya sudah kehilangan kepesantrenannya,” tandas pria asal Cirebon ini.
Soal kemungkinan berubahnya pola LPJ keuangan negara bagi pesantren, menurut dia karena pengelolaan negara ini tidak mengerti pesantren. Ia mencontohkan pada saat dirinya sedang rapat dengan kementerian/lembaga banyak orang yang belum memahami pesantren secara utuh.
“Tahunya mereka, pesantren itu ya sarungan, kemudian ngajinya kitab kuning yang lethek (kumel) kayak gitu. Mereka tidak tahu bahwa pesantren dari arkanul ma’had itu kelihatan sekali jika pesantren itu tidak melulu ngaji. Santri diajari bagaimana menjadi manusia yang mandiri sejak awal,” ungkap alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon ini.
Ia juga menjelaskan pasca-lahirnya Undang-undang Pesantren, pemerintah melalui Dit PD Pontren Ditjen Pendis Kementerian Agama terus menyempurnakan segala macam piranti agar bisa hadir seutuhnya bagi lembaga pendidikan tradisional khas Nusantara ini.
Waryono menegaskan, institusi pesantren harus mendapat perhatian khusus dari negara. Pihaknya terus berupaya agar negara benar-benar hadir untuk pesantren yang telah berjasa besar kepada bangsa dan negara.
“Yang saya perjuangkan itu sebenarnya sederhana, yaitu bagaimana saya sebagai representasi negara bisa hadir untuk pesantren. Sebab, banyak orang menyampaikan bahwa pesantren yang punya jasa besar terhadap negara ini relatif tidak diperhatikan oleh negara,” ujarnya kepada NU Online.
Mantan Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menambahkan, bentuk-bentuk perhatian dari pemerintah kepada pesantren tentu bermacam-macam. Namun, paling tidak bisa disimpulkan dalam tiga bentuk. Pertama, rekognisi yakni ada pengakuan dari negara terhadap hasil-hasil proses pembelajaran di pesantren.
“Kedua, afirmasi. Memang, sebenarnya pesantren itu maunya bukan afirmasi. Karena, mereka sebenarnya sudah kuat, bisa mandiri sedari awal. Tapi, afirmasi ini bahasa negara, bukan bahasa pesantren. Artinya, negara ingin mengafirmasi akibat ‘kelalaian’ atas elemen bangsa yang sebenarnya punya peran besar,” ujarnya.
Ketiga, lanjut dia, adalah fasilitasi. Setelah tahu bahwa ternyata pesantren membutuhkan fasilitasi tertentu sehingga kemudian pesantren itu bisa lebih dari ekspektasinya. “Itu aja saya, sederhana kan,” ungkap alumnus PP MHS Babakan Ciwaringin Cirebon ini.
Paparan ini disampaikan Waryono A Ghafur saat didaulat berbicara tentang Peta Jalan Kemandirian Pesantren dalam kegiatan Penyusunan Peta Potensi Kelembagaan Pesantren yang diinisiasi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Penda) Balitbang Diklat Kementerian Agama di Depok, Jawa Barat, Kamis (22/4).
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Muhammad Faizin