Nasional

Barzanji itu Peristiwa Teatrikal, Saudara!

Senin, 10 Februari 2014 | 00:00 WIB

Jakarta, NU Online
Syair kitab Barzanji selalu didendangkan di pesantren-pesantren NU tiap malam Jumat. Sebagian santri menghafalnya sebagaimana mereka ingin menguasai kitab Alfiyah Ibnu Malik dan kitab-kitab lain. Di masyarakat, terutama pedesaan, syair riwayat Nabi Muhammad itu dijadikan iringan dalam selamatan kelahiran bayi.
<>
Menurut pegiat teater Syahid, Abdullah Wong, para santri dan masyarakat yang sedang membacakan Barzanji, tanpa disadari sedang menjalani “momen teatrikal”. Dari prolog sampai epilog Barzanji, ketika dibacakan orang-orang pesantren menjadi “peristiwa tetrikal” dan “peristiwa sastra”.

Penulis novel Mada ini mengatakan, seorang Rendra terpukau kepada “peristiwa” Barzanji. “Kita tahu bahwa dia tidak mengerti bahasa Arab. Dia hanya melihat bagaimana performen Barzanji dibacakan pada proses abtadiul imla sampai mahalul qiyam.

“Itu sebagai peristiwa teatrikal bagi Rendra. Selain sebagai peristiwa teatrikal, itu sebagai peristiwaa sastra,” jelasnya setelah menonton Permata Kalung Barzanji yang dipentaskan 50 santri dari 9 pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Jumat malam (7/2).

Di sini, lanjutnya, Rendra bukan lebih dulu terpukau kepada Nabi Muhammad, tapi pada “peristiwa Barzanji”. Nah, peristiwanya saja sudah memukau Rendra, “Wallahu a’lam, itu mungkin hidayah. Rendra kemudian yang meminta diterjemahkan, untuk menyelami siapa Nabi Muhammad itu,” katanya.

Ia menambahkan, peristiwa teater sudah berlangsung dalam tradisi kita, dalam pesantren-pesantren NU. “Dalam peristiwa teatrikal Barzanji misalnya, bagaimana kita duduk bersama, kemudian semuanya berdiri, ketika pas bacaan tertentu. Tubuhnya pun diartikulasikan. Itu teater,” jelasnya.

Pada saatt berdiri itu, kata dia, mereka sedang mengapresiasi kehadiran Nabi Muhammad. Nabi Muhammad bagi mereka bukan imajinasi.

“Bahkan bagi kalangan mistikus, pada peristiwa itu, Rasulullah itu hadir. Maka dhomir (kata ganti orang dalam bahasa Arab)nya itu selalu ya nabi salam alaika. Dhomir yang menunjukkan kata ganti orang kedua. Bukan ya nabi salam alaihi, (kepadanya). Langsung dhomir mukhotob (kata ganti orang kedua). itu peristiwa teatrikal, Saudara!” kata santri asal Brebes ini.

Lebih jauh, Abdullah Wong juga menilai, kesaharian santri bersikap kepada guru, ketika dia lewat, membalikkan sandal guru, itu juga peristiwa-peristiwa teater. “Pesantren sebagai subkultur Indonesia, telah lama mengalami peristiwa teater, terutama dalam persoalan berekspresi.” (Abdullah Alawi)


Terkait