Santri harus menyadari bahwa yang dicari dalam kehidupan ini bukanlah pujian manusia, namun yang dicari adalah ridha dari Allah SWT. (Foto: Al-Munawir.com)
Jakarta, NU Online
Lirraf’i wa nashbi wa jarrina shalah. Ka a’rif bina fainnana nilnal minah. Ini salah satu bait dalam Kitab Alfiyah Ibnu Malik yang memiliki hikmah mendalam tentang identitas, jati diri, dan keteguhan santri dalam memegang prinsip di berbagai keadaan. Dalam bait ini digambarkan bahwa keteguhan santri digambarkan dengan kata ganti (dhammir) ‘na’ (kita) yang tidak terpengaruh oleh kondisi rafa’, nashab, maupun jar.
Kata ganti na merupakan bentuk dhammir muttashil dari ‘nahnu’ yang berbeda dengan dhamir orang pertama yakni ‘ana’ (saya). Dhammir 'ana' ketika dalam posisi rafa’ akan berubah menjadi ‘tu’. Sedangkan ketika posisi nashab dan jar akan berubah menjadi ‘yi’.
Terkait hal ini, Pengasuh Pesantren API Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah KH Yusuf Chudlori menegaskan bahwa apapun dan di mana pun posisinya, santri harus bisa memegang teguh jati dirinya seperti dhammir 'na'. Di manapun, sikap kesantrian tidak boleh berubah. Ketika menjadi rafa’ (posisi di atas), dihormati masyarakat, dan menduduki posisi penting, santri tidak boleh sombong dan takabbur.
"Ojo gembelengan (sombong). Jadilah santri yang tetap tawadhu, andap ashor (rendah hati),” ingatnya saat menyampaikan mauidzah hasanah pada Haflah Pondok Pesantren API Al Huda Nepak Magelang Jawa Tengah, Selasa (23/3).
Posisi rafa’ (di atas) ini menjadi ujian dari Allah SWT yang paling berat karena seorang santri harus tetap menjaga sikap dan akhlaknya.
Begitu juga ketika santri berada pada posisi nashab (tengah-tengah), seorang santri harus bisa bergaul dan berinteraksi dengan membawa akhlak baik yang didapatkan di pesantren. Santri harus bisa menjadi suri tauladan dan mengaplikasikan ilmu dan kahlak yang diajarkan oleh sang kiai.
"Ketika diuji oleh Allah diletakkan di posisi bawah (jar), tidak dijadikan apa-apa, tidak masalah. Santri tidak boleh minder tidak boleh berkecil hati. Rendah hati harus tapi rendah diri jangan. Saat ini posisi santri bisa di mana saja," tegasnya.
Santri harus menyadari bahwa yang dicari dalam kehidupan ini bukanlah pujian manusia, namun yang dicari adalah ridha dari Allah SWT.
Pada kesempatan tersebut, Gus Yusuf memberikan ijazah bagi orang tua agar para agar anaknya yang sedang menuntut ilmu di pesantren diberikan keberkahan dan kebetahan. Ijazah tersebut berupa senantiasa membaca dan mengirimkan fatihah sebanyak 41 kali khususnya oleh ibu wali santri bagi anaknya. Dengan amalan ini insyaallah anaknya akan betah, sehat, istiqamah, dan berkah.
Amalan ini lah yang dilakukan oleh neneknya ketika Simbah KH Chudlori (ayah Gus Yusuf) menuntut ilmu. Doa dari seorang ibu ini menjadi rahasia keberhasilan sehingga Pesantren Tegalrejo menjadi berkembang sampai saat ini.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan