Keragaman identitas agama, suku, dan budaya masyarakat Indonesia adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi dengan identitas yang seragam. Hal itulah yang menjadi alasan sebutan bangsa 'multikulturalisme' disematkan kepada Indonesia.
Layaknya sebuah karya, ia tersusun dari potongan beragam puzzle yang membentuk multikulturalisme yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tatkala satu puzzle hilang atau rusak, maka karya tersebut sudah tak nampak utuh dan indah lagi. Begitulah sisi lain di balik sebuah bangsa yang beragam, bukan bangsa yang seragam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pluralitas menjadi realitas bagi semua masyarakat beragama. Ada sekian agama dan keyakinan mayarakat di negeri ini yang harus dihormati keberadaan dan hak-haknya. Sehingga, satu kelompok agama tertentu tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk mendiskriminasi, mengintimidasi bahkan menindas kelompok lainnya.
Praktik-praktik multikulturalisme bangsa Indonesia dapat ditemukan di berbagai daerah. Salah satu yang menarik adalah jalinan kehidupan masyarkat Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Desa ini merupakan salah satu komunitas yang mampu menikmati kehidupan beragama yang rukun dan harmonis selama bertahun. Warga satu desa hidup dengan tiga idenitas agama, yakni Islam, Katolik, dan Budha.
Kesan bahwa komunitas Madura termasuk masyarakat yang terasing dari peradaban modern sudah tidak menarik dihadirkan. Dalam penelitian Zaitur Rahem yang berjudul Spirit Multikulturalisme Masyarakat Pedalaman Madura (2018), membeberkan fakta bahwa budaya menjadi sarana ampuh oleh masyarakat Desa Polagan untuk menjalin kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama. Masyarakat di sini menyebut budaya itu sebagai molang areh.
Penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 ini mengemukan bahwa dalam budaya molang areh, masyarakat mengekspresikan rasa syukur atas kehadiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga masyarakat Madura. Molang areh dilaksanakan dalam muatan kekhidmatan dan kedalaman rasa yang membawa masyarakat Madura tetap menjaga kesakralan acara tersebut.
Masyarakat menjadikan kegiatan kebudayaan molang areh sebagai bagian dari kehidupan sosial mereka. Konsekuensinya, setiap orang dianggap memiliki tanggungjawab yang sama dalam melaksanakan dan menjaga kebudayaan ini. Semua keluarga yang dikarunia seorang anak, dalam patokan kebudayaan molang areh diharapkan tidak pernah abai sama sekali dengan kebudayaan molang areh.
Molang areh adalah tradisi bagi anak yang baru lahir di masyarakat Madura. Tradisi ini nyaris sama mirip dengan aqiqah. Perbedaannya, bayi biasanya ditimang dengan menggunakan wadah. Bentuk wadahnya biasanya berbentuk kapal laut dengan hiasan lampu dan bunga-bunga. Pelaksanaan Malang Arèh untuk bayi perempuan biasanya sebelum berusia 40 hari. Sedangkan untuk bayi laki-laki setelah usia 40 hari.
Dalam ritual molang areh, setelah diletakkan di dalam wadah berhias warna-warni, bayi ditimang dan diperlihatkan ke seluruh undangan sambil dibacakan shalawat. Ada yang memegang bayi beserta wadahnya, diikuti air kembang dan parfum yang disemprotkan ke seluruh undangan. Air kembang itu fungsinya sebagai air yang dibacakan shalawat. Seperti Al-Qur’an yang dibacakan dalam segelas air. Dapat diminum dan diusapkan ke wajah sebagai obat dan penyegar wajah.
Sebelum diperlihatkan ke seluruh hadirin, di bawah bayi diletakkan uang kertas. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, hal itu sebagai penarik rezeki. Barangkali ada dari sekian undangan yang mau menyisihkan sedikit uang untuk bayi tersebut. Uang yang diberikan langsung diletakkan di atas bayi.
Molang areh menjadi salah satu warisan kebudayaan leluhur dari sekian kebudayaan yang sampai saat ini masih terus dilestarikan. Ketersambungan sanad satu generasi ke generasi selanjutnya dalam ikatan keluarga masyarakat Madura.
Praktik molang areh selama ini kental dengan nilai budi, ajaran agama, sosial, alam, kemanusiaan. Serangkaian molang areh di kalangan masyarakat Madura dilakukan dalam batasan kebudayaan dan sentral kemanusiaan. Kebudayaan yang dimaksud adalah ada ajaran yang memang kental dengan kekhasan masyarakat setempat. Serangkaian kegiatan molang areh dalam bingkai kebudayaan molang areh ini mencerminkan satu garisan pemikiran dan laku kemanusiaan yang berlaku dalam satu komunitas.
Penelitian juga menyebutkan, sampai hari ini, kebudayaan molang areh terus dilaksanakan dalam setiap kesempatan kelahiran bayi. Perubahan teknis serangkaian acara dengan aksesorisnya tak menghilangkan identitas awal kebudayaan molang areh. Pelaksanaan molang areh ada dengan wujudnya yang baru karena memang pergerakan waktu dan ruang. Uniknya, dalam konteks kehidupan masyarakat pedalaman, perubahan gaya hidup tak mengubah wujud kebudayaan molang areh dalam maknanya.
Selain menisbatkan makna nilai, pelaksanaan molang areh ini juga mengajarkan kepada manusia Madura untuk megeksplorasi jiwa dengan alam yang didiami. Penyatuan jiwa dengan alam menjadi jenjang kehidupan yang bisa mengantar kepada kebijaksanaan. Molang areh menawarkan ajaran moral, pendidikan, kemanusiaan, dan kedamaian dengan realitas. Makna hidup yang substansial semacam itu rasanya kabur dalam kehidupan umat manusia modern ini.
Multikulturalisme adalah semangat menghargai dan menghormati keberagaman dalam semua segmentasi kehidupan. Pendidikan nilai sebenarnya bisa muncul dari mana saja. Masyarakat pedalaman dengan sejumput keluguannya menjadi entitas yang kaya degan nilai-nilai kehidupan. Kebudayaan molang areh yang memiliki energi kebudayaan dan agama menjadi sarana penting menyegarkan kesadaran masyarakat di negeri ini untuk menjaga perdamaian antar sesama.
Penulis: M Zidni Nafi’
Editor: Kendi Setiawan