Benarkah Lonjakan Populasi Kucing Liar Mengancam Lingkungan? Begini Penjelasannya
Selasa, 10 Januari 2023 | 16:30 WIB
Populasi kucing liar yang tak terawat dalam jumlah masif dikhawatirkan menjadi ancaman bagi lingkungan. (Foto: NU Online/Freepik).
Jakarta, NU Online
Kucing merupakan hewan menggemaskan yang kerap diadopsi manusia untuk jadi peliharaan. Kucing yang terpelihara, mendapatkan kehidupan layak dari kebutuhan makan yang tercukupi hingga tempat tinggal yang bersih dan memadai.
Di sisi lain, realita lapangan juga menunjukan bahwa tak semua kucing ada pemiliknya. Banyak kucing-kucing di luar sana yang terkapar di jalanan, tak terurus, hingga berpenyakitan. Masalah kian kompleks ketika populasi kucing-kucing liar tersebut melonjak berlebihan.
Dokter Hewan Universitas Islam Malang (Unisma), drh Nurul Humaidah, menjelaskan populasi kucing liar yang tak terawat dalam jumlah masif dikhawatirkan menjadi ancaman bagi lingkungan.
Baca Juga
Hukum Membuang dan Membunuh Kucing
Ia menerangkan bahwa kucing yang secara alamiah terlahir dengan bekal keahlian memburu itu, berpeluang untuk mempengaruhi kondisi rantai makanan. Dalam jumlah yang tak terkendali, kucing bahkan berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem.
“Semua makhluk ciptaan Tuhan itu diciptakan sesuai dengan ekosistem. Punya fungsi sendiri. Kalau ada yang mengganggu rantai makanan, membunuh, itu pasti ada satu hal yang tidak seimbang. Dalam hal ini, hingga mengakibatkan kucing itu makan burung dan sebagainya,” kata drh Nurul Humaidah kepada NU Online, Selasa (10/1/2023).
“Ada sesuatu yang tidak seimbang di situ dan prosesnya saling terkait. Ada sesuatu yang imbalance atau tidak seimbang apakah itu karena makanan, misalnya,” tambahnya.
Ancaman lingkungan lainnya lalu datang dari probabilitas penularan penyakit zoonosis yang dibawa kucing liar kepada manusia. Adapun penyakit tersebut, sambung dia, toksoplasmosis hingga rabies.
Baca Juga
Rontokan Bulu Kucing, Apakah Najis?
“Kucing liar dikhawatirkan membawa penyakit yang bisa ditularkan hewan ke manusia. Selain rabies ada juga toksoplasmosis, lewat parasitnya atau fesesnya kucing,” ungkap dia.
Ketika eksistensi kucing liar yang terkatung-katung di jalanan dirasa mulai mengganggu keanekaragaman hayati, drh Nurul menilai pemerintah perlu bergerak untuk merumuskan kebijakan selanjutnya yang berlandaskan kesejahteraan hewan.
“Kalau sudah seperti itu, perlu tindakan. Dalam hal ini, tindakan harus berpijak pada animal welfare dan dilihat dari sudut pandang agama,” tutur dia.
Ia menilai, pemerintah juga perlu menggandeng pihak-pihak terkait untuk memuluskan upaya pemeliharaan kucing liar. Organisasi profesi dan nirlaba, sambung dia, dianggap memiliki peran strategis pada urusan ini.
“Mungkin dari organisasi profesi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) atau organisasi pecinta hewan menggalakan rumah singgah bagi hewan. Itu bisa digotong bersama-sama, bisa open donasi untuk merawat atau mengadopsi dan sebagainya,” tuturnya.
Sterilisasi untuk menekan laju populasi kucing liar
Selain itu, drh Nurul juga melihat sterilisasi sebagai salah satu upaya paling mungkin untuk menghentikan berbagai problem yang kerap terjadi ketika populasi kucing melonjak.
Ia menerangkan, sterilisasi merupakan proses pengangkatan organ reproduksi hewan. Pada kucing jantan adalah testis, sementara kucing betina adalah uterus atau ovarium.
Sterilisasi memang kerap difungsikan untuk mengontrol populasi. Kendati demikian, ia menyebut proses sterilisasi juga dapat memperkecil potensi terserang penyakit pada hewan.
“Kalau betina dulu sering diinjeksi sehingga mengakibatkan timbul nanah, supaya tidak merambat kemana-mana itu biasanya dilakukan pengangkatan uterus. Untuk pengobatan. Kalau jantan disteril, testisnya dikeluarkan. Testis itu yang biji dua menyerupai kacang,” jabar dia.
Ia menerangkan, prosedur sterilisasi atau kebiri sebaiknya kita lakukan ketika hewan berumur kisaran satu bulan. Ini karena prosedur kastrasi di umur kecil tidak lebih menyakitkan ketika sudah dewasa.
“Misalnya kucing, anjing, dan sebagainya memang dianggap jumlahnya terlalu banyak, dari awal kita bisa lakukan kastrasi itu ketika masih dalam usia kecil. Di usia satu bulan,” paparnya.
Namun nyatanya, edukasi masyarakat mengenai alur sterilisasi hewan masih sangat minim. Maka itu, ia mengatakan bahwa hewan di atas usia satu bulan tetap bisa menjalankan prosedur kastrasi, dengan catatan harus ditangani oleh ahli.
“Kalau memang kenyataannya banyak yang sudah besar-besar kemudian dilakukan kebiri, mestinya dilakukan oleh dokter yang terampil supaya tidak menyakiti proses pengangkatan testis itu karena dilakukan oleh orang yang terampil,” bebernya.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi