Bencana Ekologis di Sumatra, Walhi Sebut Pemerintah Lemah Menindak Penambang dan Perusak Hutan
Selasa, 23 Desember 2025 | 22:30 WIB
Kondisi di Pidie Jaya pascabencana. Kayu-kayu gelondongan masih memenuhi lahan warga, 18 Desember 2025. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)
Jakarta, NU Online
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti lemahnya ketegasan pemerintah dalam menindak pelaku perusakan hutan dan aktivitas pertambangan di Pulau Sumatra. Lemahnya penegakan hukum dinilai menjadi salah satu faktor utama berulangnya bencana ekologis di berbagai daerah.
Ketua Dewan Daerah Walhi Aceh Muhammad Nur mengatakan, pemerintah cenderung lamban dan tidak serius dalam melindungi kawasan hutan di Sumatra. Hal itu terlihat dari terus meluasnya perkebunan sawit serta masih bertahannya berbagai konsesi kehutanan dan pertambangan.
“Perkebunan sawit terus meluas, izin HPH (hak pengusahaan hutan) masih bertahan sejak era Orde Baru, lalu muncul lagi berbagai perluasan perkebunan dengan dalih legalitas. Ini menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak serius melindungi hutan Sumatra,” kata Muhammad kepada NU Online, Selasa (23/12/2025).
Ia menambahkan, meski pemerintah sempat menyatakan penangguhan izin tambang sejak 2023, pada praktiknya aktivitas tambang, baik ilegal maupun legal, masih terus berlangsung.
“Sejak 2009 hingga sekarang, tambang ilegal tetap beroperasi. Ini menunjukkan lemahnya perlindungan hutan di Sumatra,” ujarnya.
Kebijakan Hanya Bersifat Simbolik
Menurut Muhammad, kebijakan pemerintah selama ini lebih bersifat simbolik dan tidak diikuti langkah tegas di lapangan. Hingga kini, ia menilai hampir tidak ada pencabutan izin secara menyeluruh terhadap konsesi yang terbukti merusak hutan.
“Dari tahun ke tahun tidak ada pencabutan izin. Yang terjadi hanya sebatas gertak sambal. Kalau memang serius, pencabutan harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk terhadap HTI (hutan tanaman industri), KPH (kesatuan pengelolaan hutan), dan konsesi sawit di kawasan hutan,” tegasnya.
Muhammad juga menyoroti besarnya kerugian negara akibat bencana ekologis. Menurutnya, kerugian ekologis yang ditimbulkan mencapai ratusan triliun rupiah.
“Dalam satu provinsi saja, kerugian ekologis akibat bencana bisa mencapai lebih dari Rp20 triliun. Jika terjadi di tiga provinsi, anggaran negara yang keluar bisa menembus Rp150 triliun,” ungkapnya.
Ia mendorong pemerintah mengambil langkah konkret untuk mencegah bencana ekologis terulang, antara lain dengan menertibkan dan menghukum pelaku perusakan hutan, meningkatkan patroli, serta mencabut izin tambang dan perkebunan di kawasan rawan bencana.
“Pencabutan izin harus segera dilakukan, terutama di kawasan rawan bencana yang ditanami sawit seperti Aceh Tamiang, Aceh Singkil, dan Aceh Selatan,” ujarnya.
Rusaknya Ekosistem Hutan
Sementara itu, aktivis lingkungan sekaligus Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) Gun Retno menilai, bencana ekologis terjadi karena fungsi daya serap lingkungan tidak lagi berjalan optimal akibat rusaknya ekosistem.
“Seharusnya ada perlindungan kuat melalui kebijakan yang jelas. Namun selama ini perlindungan ekosistem hanya bersifat bias dan lemah,” kata Gun Retno kepada NU Online, Selasa (23/12/2025).
Ia menjelaskan, kawasan kapur secara alami mampu menyerap hingga 70 persen air hujan. Namun ketika hutan digunduli dan kawasan tersebut dieksploitasi industri, air tidak lagi terserap dan langsung memicu banjir.
“Ketika hutan rusak, hujan turun sedikit saja sudah menyebabkan banjir. Ini karena tidak ada perlindungan ekosistem yang tegas,” jelasnya.
Gun Retno berharap pencabutan atau pembekuan izin perusahaan tambang dan industri dilakukan secara menyeluruh dan tidak sebatas formalitas.
“Omong kosong jika izin dibekukan tapi kegiatan masih berjalan. Padahal pelanggaran jelas terjadi, namun penegakan hukum tidak berjalan,” tegasnya.
Kebijakan Buruk Tata Kelola Hutan
Senada dengan itu, Pegiat Lingkungan Blora Eko Arifianto menilai deforestasi di Sumatra terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari konversi hutan menjadi perkebunan skala besar, penebangan kayu komersial, hingga kebijakan yang lemah.
“Wilayah seperti Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, dan Aceh menjadi daerah paling terdampak. Penyebab utamanya adalah ekspansi perkebunan, industri ekstraktif, serta kebakaran lahan,” ujarnya.
Eko menambahkan, sejak era kolonial hingga kini, industri perkebunan dan pertambangan memang berperan sebagai penggerak ekonomi, namun juga menjadi penyebab utama deforestasi. Karena itu, ia menilai diperlukan pendekatan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan konservasi lingkungan.
“Tanpa penataan manajemen hutan, lahan, dan industri, bencana ekologis akan terus terjadi, meskipun perubahan iklim tidak semakin ekstrem,” katanya.
Menurut Eko, Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai kebijakan perlindungan hutan, seperti moratorium dan program restorasi. Namun implementasinya di lapangan dinilai belum efektif.
“Masalah utamanya bukan ketiadaan aturan, tetapi lemahnya kemauan dan kemampuan untuk menjalankan kebijakan, termasuk karena konflik kepentingan,” pungkasnya.