BMKG Jelaskan Bahaya dan Manfaat Fenomena La Lina di Musim Hujan
Ahad, 8 Desember 2024 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai fenomena masuknya musim hujan deras yang bersamaan dengan La Nina di Indonesia. Hal ini mengakibatkan potensi penambahan curah hujan hingga 20-40 persen.
Fenomena ini berlangsung mulai November atau akhir 2024 hingga setidaknya Maret atau akhir April 2025. Sebagai informasi, La Nina adalah fenomena anomali iklim global yang diakibatkan oleh suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang mendingin, lebih dingin dibandingkan biasanya.
"Kami mengimbau masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapinya karena fenomena ini dapat berdampak signifikan pada kondisi cuaca. Utamanya bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perbukitan, lereng-lereng gunung, dataran tinggi, juga sepanjang bantaran sungai," ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Jakarta belum lama ini.
Dwikorita mengatakan, fenomena La Nina ini berpotensi mengakibatkan berbagai bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan puting beliung. Termasuk, kata dia, bencana banjir lahar hujan yang berpotensi terjadi ketika air hujan bercampur dengan material vulkanik dari gunung berapi berupa pasir, abu, dan bebatuan serta kayu atau pohon, terutama untuk gunung api yang saat ini sedang atau baru saja mengalami erupsi.
Maka dari itu, menurutnya, dibutuhkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan seluruh komponen baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
Hal itu dijelaskan Dwikorita bahwa beberapa faktor utama yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia pada 2025 adalah penyimpangan suhu muka laut di Samudra Pasifik, Samudra Hindia, dan perairan Indonesia.
Penyimpangan suhu di wilayah ini berhubungan erat dengan fenomena La Nina Lemah, yang berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di Indonesia. Selain itu, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) juga mempengaruhi distribusi hujan di wilayah Indonesia.
Berdasarkan analisis dinamika atmosfer dan lautan, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada 2025 akan mengalami curah hujan tahunan dalam kategori normal, dengan jumlah berkisar antara 1.000 hingga 5.000 mm per tahun.
Sebanyak 67% wilayah Indonesia diprediksi akan menerima curah hujan lebih dari 2.500 mm per tahun (kategori tinggi), meliputi sebagian besar Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau bagian barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Lampung bagian utara, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi bagian tengah dan selatan, serta sebagian besar wilayah Papua.
Sementara itu, 15 persen wilayah diprediksi mengalami curah hujan di atas normal, termasuk sebagian kecil Sumatera, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, dan Papua bagian tengah. Di sisi lain, 1 persen wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami curah hujan di bawah normal, seperti di Sumatra Selatan bagian barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara.
Meski berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi, lanjut Dwikorita, apabila dimitigasi dengan tepat, fenomena La Nina Lemah disebutnya memiliki sejumlah peluang positif yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, keberlimpahan air hujan akibat La Nina dapat dimanfaatkan secara optimal guna mendukung ketahanan pangan dan air serta energi.
Di sektor pertanian, papar Dwikorita, petani memiliki peluang percepatan tanam, perluasan area tanam padi baik di lahan sawah irigasi, tadah hujan, maupun ladang. Tentunya, kata Dwikorita, hal ini selaras dengan Program Asta Cita yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang berkeinginan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat dan mencapai swasembada pangan.
Tidak hanya itu, dengan langkah mitigasi yang tepat, lanjut dia, tingginya curah hujan akibat La Nina juga bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas tampungan air di bendungan dan waduk, yang akan mendukung operasional pembangkit listrik tenaga air secara maksimum sehingga menjamin pasokan energi listrik. Masyarakat, tambah dia, dapat memanen air hujan atau rainwater harvesting dan digunakan saat musim kemarau tiba guna mengantisipasi kekeringan.