Bom Bandung, Momentum Pemerintah Kaji Ulang Program Deradikalisasi
Sabtu, 10 Desember 2022 | 07:00 WIB
Sekretaris BPET MUI, Muhammad Najih Arromadloni saat diwawancarai TVNU di Pesantren Yanbu’ul Ulum, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Kamis (8/12/2022). (Foto: YouTube TVNU)
Jakarta, NU Online
Beberapa hari lalu aksi teror bom bunuh diri kembali terjadi. Tepatnya di Mapolsek Astananyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Pelakunya merupakan salah seorang mantan narapidana kasus bom Cicendo Jabar yang telah dihukum empat tahun di Nusakambangan dan dibebaskan pada September 2021. Namun, aksi teror itu kembali dilakukannya.
Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), Muhammad Najih Arromadloni (Gus Najih) mengatakan bahwa aksi bom bunuh diri yang terjadi pada Rabu (7/12/2022) pagi itu merupakan momentum bagi pemerintah untuk mengkaji ulang program deradikalisasi.
“Berdasarkan keterangan dari aparat pemerintah bahwa itu adalah pelaku yang tidak memiliki jaringan. Bisa dikatakan pelaku tunggal. Dalam kasus pelaku tunggal membuat aparat keamanan kesulitan untuk mendeteksi, karena selama ini aparat keamanan mudah menindak mereka yang berjejaring,” ujarnya dalam tayangan YouTube TVNU, Jumat (9/12/2022).
Menurut dia, yang bisa melakukan deteksi utama adalah NU. Karena aksi terorisme adalah sesuatu yang tidak akan bisa berhenti kecuali dengan memutus ideologinya. Selama ideologi pemahamannya masih ada, maka pelaku itu akan terus bermunculan. Pemerintah perlu terus menggencarkan program deradikalisasi.
Baca Juga
Islam, Radikalisme, dan Terorisme
“Saatnya pemerintah melakukan evaluasi. Setidaknya perlu tiga pendekatan lebih lanjut untuk mengefektifkan deradikalisasi. Dengan cara pendekatan psikologi, artinya pemikirannya perlu disentuh, hatinya, juga perutnya. Kalau upaya ini dilakukan saya kira kemungkinan berhasilnya akan lebih besar,” terangnya.
Terpenting, menurut Gus Najih, adalah strategi besar kontra radikalisme dan deradikalisasi di Indonesia, yakni soal memutus ideologi radikal ini. Karena selama mata rantainya tidak diputus maka teroris akan terus melakukan reproduksi. Pemerintah harus serius memutus aksi teror meskipun dalam menanganinya tidak mudah.
“Jangan melulu mengedepankan keuntungan secara politik karena itu akan merusak bangsa pada masa mendatang. Agar aparat bisa bekerja secara maksimal, legislatif juga perlu membuat payung hukum sebagai landasan mereka bergerak melakukan penindakan preventif sebelum teroris melakukan aksinya,” tegasnya.
Di dalam Jurnal Penelitian Hukum Legalitas Volume 15 No 2 Juli 2021 yang ditulis oleh Moh Djafar Shodiq dan Moh Ismed menyebutkan bahwa program deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.
Program yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut dilaksanakan melalui koordinasi dengan lembaga atau institusi pemerintah dengan sasarannya yang dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, dan orang atau kelompok yang telah terpapar paham radikal terorisme.
Program deradikalisasi di Indonesia terdiri dari berbagai pendekatan yang ditujukan untuk para narapidana terorisme. Pertama, mengubah interpretasi para narapidana terorisme tentang makna jihad dan konsep takfir.
Kedua, menjauhkan individu dari kelompok narapidana terorisme. Ketiga, membantu mengintegrasikan kembali individu tersebut ke dalam masyarakat normal.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori