Nasional

BRIN: Pemerintahan Prabowo dalam Setahun Gagal Jaga Supremasi Sipil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 07:00 WIB

BRIN: Pemerintahan Prabowo dalam Setahun Gagal Jaga Supremasi Sipil

Presiden Prabowo Subianto dan jajaran Kabinet Merah Putih melakukan senam pagi dalam agenda retret di lapangan Pancasila, Kawasan Akademi Militer, Magelang, Provinsi Jawa Tengah, pada Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Jakarta, NU Online

Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam satu tahun terakhir gagal menjaga prinsip supremasi sipil dan justru memperkuat tren militerisasi di berbagai sektor pemerintahan.


Wasisto mengungkapkan hasil riset sementara BRIN yang menunjukkan kemunduran agenda reformasi sektor keamanan.


Ia menyoroti semakin besarnya peran militer dalam urusan sipil yang seharusnya dikelola oleh aparatur profesional.


“Kita bisa melihat adanya pergeseran besar, di mana pengalaman militer kini semakin dominan di ruang sipil. Ini membalikkan semangat reformasi yang dulu ingin menempatkan militer di posisinya sebagai alat pertahanan, bukan pengambil keputusan sipil,” ujar Wasisto dikutip NU Online melalui Youtube PBHI Nasional Jumat (31/10/2025).


Menurutnya, kecenderungan militerisme tersebut berkelindan dengan strategi populis yang digunakan pemerintah untuk memperkuat citra politik. Ia menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan populis seperti subsidi atau program bantuan masif kerap melibatkan struktur militer di lapangan, sehingga memperluas pengaruh militer di sektor nonperang.


“Ada keterkaitan erat antara populisme dan militerisme. Semakin populis kebijakan itu, semakin besar keterlibatan militer di dalamnya. Akibatnya, profesionalisme dan orientasi pertahanan tergeser oleh kepentingan politik jangka pendek,” jelasnya.


Wasisto juga menyinggung sejumlah proyek pembangunan seperti Brigade Pembangunan dan Brigade Pertanian yang dikoordinasikan oleh struktur militer.


Menurutnya, hal itu memperlihatkan bahwa militer kini bukan hanya aktor pertahanan, melainkan juga aktor pembangunan dan pengawasan ekonomi.


“Militer sekarang menjadi bagian dari kebijakan pembangunan desa, pangan, hingga logistik. Ini tentu mengkhawatirkan karena fungsi sipil seharusnya dijalankan oleh teknokrat, bukan aparat bersenjata,” tegasnya.


Wasisto menyoroti revisi Undang-Undang TNI yang memperluas fungsi militer di luar pertahanan. Dalam pandangannya, perubahan itu berpotensi mengembalikan dwifungsi militer seperti era Orde Baru, di mana militer turut berperan dalam urusan sosial-politik.


“Revisi itu membuka peluang militer aktif dalam urusan keamanan siber, energi, bahkan administrasi sipil. Ini bukan lagi prefungsi, tapi profifungsi perluasan peran yang mengancam demokrasi sipil,” ungkapnya.


Menurutnya, situasi tersebut mengancam nilai-nilai dasar reformasi 1998 yang berupaya membangun demokrasi berbasis partisipasi publik dan akuntabilitas sipil.


“Ketika struktur pemerintahan didesain seperti komando militer semua keputusan vertikal tanpa umpan balik dari bawah demokrasi akan kehilangan napasnya,” kata Wasisto.


Ia menegaskan bahwa menguatnya peran militer di pemerintahan sipil selama satu tahun pemerintahan Prabowo adalah peringatan keras bagi masa depan demokrasi Indonesia.


“Kita menghadapi tantangan serius. Demokrasi yang dibangun pascareformasi kini berpotensi mundur. Jika supremasi sipil tidak segera dipulihkan, kita sedang berjalan menuju demokrasi yang terkonsolidasi secara militeristik,” pungkasnya.


Amnesty International Indonesia mencatat bahwa dalam setahun terakhir, jumlah jabatan untuk perwira aktif meningkat dari 10 menjadi 16 posisi.


Tak hanya itu, pemerintah membentuk 100 Batalion Teritorial Pembangunan, 20 Brigade Infanteri Teritorial, hingga pelatihan transmigran sebagai Komponen Cadangan (Komcad) dan pembentukan kompi produksi.


Jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) pun meningkat signifikan dari 15 menjadi 21, dan diproyeksikan mencapai 37 Kodam pada 2029. Enam Kodam baru bahkan telah dibentuk tahun ini mulai dari Kodam XIX/Tuanku Tambusai di Riau hingga Kodam XXIV/Mandala Trikora di Merauke, Papua Selatan.


“Semua kebijakan itu menegaskan pola militerisasi pemerintahan yang mengaburkan area pertahanan dan nonpertahanan. Belajar dari pengalaman, implikasi negatif bagi HAM-nya cukup serius,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.


Kecenderungan ini juga tampak dalam proyek strategis nasional (PSN), terutama di sektor pangan dan energi.


Penempatan purnawirawan militer di berbagai posisi strategis, termasuk di 15 pos kabinet dan lima dari sepuluh pimpinan Badan Gizi Nasional, memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu melemahnya batas sipil dan militer.