Bukan Hanya Dihafalkan, Gus Yahya: Kejarlah Ilmu sebagai Pemahaman
Ahad, 10 April 2022 | 05:15 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: Tangkapan layar Youtube)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf berpesan kepada para santri agar dalam belajar hendaknya mencari pemahaman, bukan hanya menghafalkan pelajaran-pelajaran yang dikatakan oleh guru.
“Kejarlah ilmu sebagai pemahaman,” ungkap Gus Yahya dalam Pengajian Pasanan Kitab Minhajul Abidin 06, disiarkan melalui Kanal Youtube NU Online, pada Sabtu (9/4/2022).
Meski begitu, lanjutnya, bukan berarti santri tidak perlu menghafal seperti Alfiyah dan Al-Qur’an. Sebab menghafal adalah salah satu washilah atau sarana untuk tahqiq yakni sikap merasakan faedah dari ilmu.
“Untuk merasakan apa yang ada di dalam ilmu itu, tidak ada yang lebih kuat sebagai sarana tahqiq selain menghafal. Menghafal itu sarana untuk tahqiq. Tetapi tidak cukup hanya dengan menghafal saja, harus juga dengan memahami isinya,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Ia berkisah, KH Maimoen Zubair di dalam salah satu pengajiannya di maqbarah pada acara Haul KH Bisri Mustofa pernah mengatakan bahwa jasa besar Kiai Bisri adalah karena mendorong untuk mengembalikan Al-Qur’an kepada fungsi yang sejati yakni sebagai imam dan penuntun.
Gus Yahya pun mengamini, Al-Qur’an adalah imam. Namun, banyak orang cenderung menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan semata dan hanya untuk didengarkan saja, tanpa dijadikan sebagai penuntun.
Baca Juga
RMI NU: Ngaji Pasaran Perlu Digalakkan
“Kalau dijadikan imam, berarti kita harus mengetahui makna dari Al-Qur’an itu. Kita harus memahami ayat-ayatnya dengan sungguh-sungguh supaya kita bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai penuntun. Ini satu hal yang penting bahwa ilmu itu soal pemahaman, bukan sekadar soal hafalan,” katanya.
Namun demikian, Gus Yahya menyebut bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pemahaman yakni sanad. Saat ini, umat Islam hidup pada tujuh abad setelah Rasulullah. Ia mengaku, mimpi bertemu Rasulullah pun belum pernah.
“Lalu bagaimana kita akan menjalankan tuntunan Rasulullah, sementara kita tidak pernah bertemu dengan beliau? Itu sebabnya kita menegakkan nilai bahwa ilmu harus dengan sanad, tidak boleh orang mengamalkan apalagi mengajarkan ilmu tanpa sanad,” katanya.
Menurut Gus Yahya, sanad adalah rantai guru dan murid yang sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah. Sanad berarti sandaran sehingga ketika dimintai pertanggungjawaban di akhirat, seseorang bisa menyandarkan jawaban pada sosok guru yang mengajar semasa di dunia.
“Saya misalnya ditanyai kamu begitu apa dasarnya? Dasarku karena guruku. Karena aku memahami guruku. Nanti biar guruku yang ditanya, nanti jawabnya saya karena guru saya. Guru-guru itu dimintai pertanggungjawaban terus sampai kepada Rasulullah,” katanya.
Sebagai informasi, Pengajian Pasanan Minhajul Abidin yang diampu Gus Yahya ini disiarkan setiap hari selama bulan Ramadhan di Kanal Youtube NU Online. Minhajul Abidin adalah kitab tasawuf karya Imam Al-Ghazali yang diterbitkan pertama kali pada 1853.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin