Buku Ekoteologi dan Moderasi Beragama, Bentuk Komitmen Agama sebagai Solusi Perubahan Iklim
Jumat, 14 November 2025 | 18:00 WIB
Menteri Agama RI saat memberi sambutan dalam launching tiga buku Ekoteologi, Peta Jalan Moderasi Beragama, dan Trilogi Kerukunan di Kemenag RI, Jumat (14/11/2025). (Foto: NU Online/Afrilia)
Jakarta, NU Online
Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama RI meluncurkan tiga buku dengan topik strategis yang berkaitan dengan ekoteologi, moderasi beragama, dan kerukunan di Auditorium HM Rasjidi, Kemenag RI, Jakarta Pusat, Jumat (14/11/2025).
Peluncuran ketiga buku dengan judul Ekoteologi, Peta Jalan Moderasi Beragama, dan Trilogi Kerukunan ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam merawat alam dan kerukunan beragama, sekaligus menyelaraskannya dengan tren global yang menempatkan agama sebagai bagian dari solusi krisis iklim.
Dalam sambutannya, Menteri Agama RI, KH Nasaruddin Umar, menekankan landasan filosofis yang mendalam antara hubungan manusia, alam, dan Tuhan.
"Alam ini makhluk sedangkan Tuhan adalah khalik sang pencipta. Manusia disebut microcosmos sedangkan alam semesta ini macrocosmos," ujarnya.
Menag menjelaskan bahwa alam dan Tuhan adalah satu kesatuan (manunggal), sehingga menghormati alam adalah kewajiban.
"Tidak mungkin ada sesuatu yang ada tanpa ada yang mengadakan. Maka wajib hukumnya untuk menghormati alam," tegasnya.
Menag kemudian memberikan ilustrasi tentang jauhar (hakikat) dan aradh (penampakan) menggunakan contoh batik.
"Batik mulanya adalah kapas. Yang kita lihat sesungguhnya adalah kapas. Kita seringkali lupa. Kapas dari kayu, kayu dari tanah," ujar Menag.
Menurutnya, pemahaman ini krusial untuk membangun kesadaran ekoteologi. Ia juga berharap lahirnya kesadaran global untuk memelihara lingkungan, mengingat kondisi lingkungan yang semakin berdampak pada kesehatan manusia.
Dalam kesempatan tersebut, Menag menghubungkan secara integral antara ekoteologi dan kerukunan.
"Rukun tanpa ada alam yang sehat itu juga tidak sempurna, alam yang sehat tanpa kerukunan juga tidak ada artinya," paparnya.
Untuk mengimplementasikan hal ini, Kemenag akan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan. "Kalau kita hanya ngomongin saja dan tidak diukurkan, nah ini kita akan implementasikan ke dalam kurikulum mulai dari TK sampai tingkat atas," ungkapnya.
Ia juga menyatakan bahwa isu yang diangkat Indonesia kini menjadi perbincangan internasional, termasuk oleh Paus, yang mengangkat isu lingkungan sebagai isu kemanusiaan prioritas.
Relevansi Ekoteologi dengan Isu Global: COP30 dan Tren Keyakinan Masyarakat AS
Pembahasan teologi lingkungan dalam peluncuran buku ini sejalan dengan dinamika global, termasuk dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang berlangsung di Belem, Brazil, pada 10-21 November 2025.
Konferensi tersebut juga melibatkan kelompok lintas agama, termasuk inisiatif Green Religion, yang memberikan dukungan akar rumput bagi korban dampak iklim dan memimpin kampanye edukasi.
Dr. Delia Paul, afiliasi penelitian di Universitas Monash, memberikan tanggapannya terkait cara umat beragama (Islam dan Hindu) dalam praktik menjaga lingkungan.
"Saya mengenal umat Muslim dan Hindu yang taat yang aktif menjaga lingkungan karena mereka melihat kepedulian terhadap alam dan menangani masalah keadilan sosial sebagai kewajiban agama dan kontribusi yang baik secara moral," katanya melansir UCA News di Washington DC, Amerika Serikat.
Studi Lanskap Keagamaan (RLS) 2023-24 mereka menunjukkan bahwa mayoritas orang dewasa AS (66 persen) percaya bahwa Tuhan memberi manusia tugas untuk melindungi dan merawat Bumi.
Sebanyak 57 persen lainnya percaya bahwa Tuhan memberi manusia hak untuk menggunakan Bumi demi keuntungan umat manusia. Temuan ini mengindikasikan bahwa keyakinan agama dapat menjadi pendorong kuat bagi aksi lingkungan di tingkat global.
Peluncuran tiga buku oleh Kemenag RI ini tetapi merupakan deklarasi strategis yang menunjukkan inisiatif Indonesia dalam mengintegrasikan wawasan agama, kebijakan moderasi beragama, dan aksi nyata untuk merawat bumi.