Penulis buku "Menjerat Gus Dur" Virdika Rizky Utama yang masih berusia 25 tahun (Foto: Twitter @virdika)
Lajang kelahiran 1994 itu tak pernah menyangka bahwa dirinya akan menuliskan sebuah buku terkait seorang presiden dan merupakan orang yang sangat dihormati di komunitasnya. Juga menyangkut para politikus senior yang saat ini masih bercokol.
“Saya tak pernah menyangka akan dpt menuliskan sekeping potongan sejarah yg sangat penting dalam sejarah Indonesia yaitu pelengseran Gus Dur. Bahkan, saya juga tak pernah mengira akan mendapatkan pengantar dari Greg Barton,” ungkapnya di akun Twitternya. “Hal yang lebih mengagetkan bahwa buku ini habis dlm 1 hr,” lanjutnya.
Di balik semua itu, Virdika mengaku, tak pernah meniatkan diri untuk menulis Gus Dur. Sebab ia hanya tahu Gus Dur sebagai seorang presiden yang meliburkan sekolah saat ia kelas dua SD. Di keluarganya, sang ayah sering mempertanyakan kebijakan Gus Dur saat presiden yang tak dimengertinya. Dan sama sekali, Virdika tak mengenal NU secara organisasi. Hanya saja, keluarganya memiliki kesamaan kultur dengan NU. Itu saja.
“Itu semua sama-sama tidak sengaja. Jadi pertemuan saya dengan Gus Dur itu banyak gak sengajanya,” ungkap Virdika di Jakarta, Selasa (14/1) lalu.
Ketidaksengajaan itu dimulai ketika ia semester dua di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekitar awal 2012. Waktu itu ia aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Di situ, ia mengasah kemampuan menulisnya dan tentu saja membaca banyak hal. Terrmasuk kemudian membaca tulisan Gus Dur dengan cara tidak sengaja.
Suatu ketika, ia dan teman-temannya mengadakan diskusi film Mahatma Gandhi. Virdika menyiapkan bahan diskusi dengan berselancar di Google yang terkait dengan film itu. Ketemulah ia dengan tulisan Gus Dur berjudul Damai dalam Pertentangan yang memang ada sangkut pautnya dengan film itu.
Menulis buku Menjerat Gus Dur pun dimulai dengan tidak sengaja. Saat ia liputan di kantor DPP Golkar pada tahun 2018, ia melihat orang yang akan membuang sampah berupa tumpukan kertas. Virdika iseng, meminta orang itu untuk membolehkannya menyortir. Di situlah ia menemukan dokumen yang menghidupi bukunya yang kini disambut hangat para pecinta Gus Dur.
Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad