Cak Imin Sebut Kasus Rempang Contoh Pemaksaan Proyek Strategis Nasional
Senin, 22 Januari 2024 | 17:00 WIB
Cawapres 2024 Moh Mahfud MD, Abdul Muhaimin Iskandar, dan Gibran Rakabuming, Ahad (21/1/2024) dalam acara debat keempat cawapres di JCC Senayan, Jakarta. (Foto: tangkapan layar Youtube KPU RI)
Jakarta, NU Online
Debat keempat cawapres 2024 yang dihelat pada Ahad (21/1/2024) di Jakarta Convention Center (JCC) kembali menyinggung terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar mengatakan apa yang terjadi di Rempang lantaran selama ini masyarakat sekitar tidak dilibatkan pemerintah dalam diskusi untuk Program Strategis Nasional (PSN).
"Menjaga hutan, menjaga lingkungan tetapi tak pernah diajak dialog ada pemaksaan melalui PSN, tidak diajak bicara. Rempang misalnya, itu tidak melibatkan dengan sungguh-sungguh masyarakat sekitar," ungkap Cak Imin.
Guna mengantisipasi terjadinya konflik dalam pelaksanaan PSN, maka pemerintah harus melibatkan masyarakat adat setempat. Khususnya dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat.
"Menghormati masyarakat adalah memberikan ruang hak mereka, hak budaya mereka, hak spiritual mereka, dan kewenangan mereka menentukan cara membangun dengan cara penghormatan. Ini bagian dari agar kita tidak salah jalan dalam pembangunan,” tutur Muhaimin.
Sementara itu, Cawapres nomor urut 2 Mahfud MD mengakui masalah tumpang tindih sertifikat tanah dari era orde baru, seperti kasus Rempang. Ia menyebut perlunya kesepakatan untuk menyelesaikan masalah ini. Menurutnya, sejak era orde baru banyak kasus surat tanah yang berubah menjadi sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Terjadi tumpang tindih, terjadi kasus Rempang, oleh karena itu harus dibuat kesepakatan agar selesai," ujar Mahfud MD.
Menanggapi itu, cawapres nomor urut 1, Gibran Rakabuming Raka mengatakan bahwa kunci penyelesaian tanah masyarakat adat adalah meningkatkan dialog dengan tokoh adat dan masyarakat setempat.
"Jangan sampai pembangunan yang masif ataupun ada PSN (Proyek Strategis Nasional) sampai masyarakat adat tersingkirkan. Justru harus dirangkul dan diberikan manfaat yang sebesar-besarnya terutama untuk masyarakat lokal, UMKM lokal, dan masyarakat adat setempat," ucap Gibran.
Gibran berkomitmen akan mendorong Rancangan Undang Undang Masyarakat Hukum Adat agar bisa menghadirkan keadilan. Dalam hal ini pemerintah akan menjalankan prinsip sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
"RUU masyarakat hukum adat akan didorong lebih berkeadilan karena sesuai prinsip SDG yaitu no one left behind (tidak ada yang tertinggal) keberlanjutan dan penyempurnaan," tutur dia.
Sebelumnya konflik agraria PSN Rempang Eco-city memuncak di Kota Batam. Pulau Rempang dengan luar 7.000 hektar lebih itu akan dilakukan pengembangan menjadi kawasan industri.
Rencana ini digawangi oleh BP Batam yang menjadikan PT Makmur Elok Graga (MEG) perusahaan Tomy Winata sebagai pengembang dari pihak ketiga. Investasi total direncanakan mencapai Rp300 triliun.
Namun, warga lokal melayu Rempang menolak tanah ulayat mereka diambil perusahaan. Meskipun ada ganti rugi dalam bentuk rumah dan tanah. Bagi warga mempertahankan tanah ulayat adalah sudah harga mati. Mereka menilai tanah ulayat bukan soal materiil, tetapi nilai sejarah budayanya.
Sampai saat ini BP Batam terus berupaya membujuk warga agar pindah dan mau direlokasi. Sebagian warga masih bertahan.