Jakarta, NU Online
United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sebuah lembaga internasional yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan ada empat pilar pendidikan yakni learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan), learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan learning to be (belajar untuk menjadi).
Menurut psikolog pendidikan asal Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang Asriana Kibtiyah, empat pilar dari UNESCO ini bisa diterapkan untuk mengurangi dan mengantisipasi terjadinya perundungan atau bullying di lembaga pendidikan.
"Penghayatan dan pengamalan empat pilar dalam proses pendidikan dan pembelajaran menurut hemat saya akan mampu menjadi satu pendekatan yang dapat mencegah terjadinya bullying di lingkungan sekolah," jelas Asriana, Ahad lalu di Jombang.
Perempuan asal Kabupaten Malang ini menjelaskan cara mengimplementasikan empat pilar tersebut bisa dengan cara guru atau pengajar membuat ceklis yang memuat indikator implementasi masing-masing pilar dalam bingkai pencegahan bullying.
Semisal untuk learning to know, siswa atau santri dibuat tahu dan paham tentang indikator perilaku yang termasuk perbuatan bullying. Kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Perlunya manusia saling menghormati dan menyayangi.
Selanjutnya, bahwa setiap perbuatan, perkataan yang dilakukan akan berdampak pada diri sendiri. Diberi pemahaman bahwa manusia diciptakan bersuku bangsa (beragam) untuk saling mengenal, dan lain-lain.
"Harapannya terwujud proses dan lingkungan pendidikan yang ramah anak, guna memberi kondisi optimal bagi tumbuh kembang anak," imbuhnya.
Asriana menambahkan, tahap pertama lebih pada memberikan tahu anak. Apa yang telah diketahui tidak akan berdampak, tidak ada artinya bila tidak terjadi transfer belajar, yakni penerapan pengetahuan pada kehidupan sehari-hari, dengan kata lain hanya sebatas Ilmu tapi tanpa Amal. Maka siswa perlu didampingi untuk belajar melakukan (to do).
Sehingga perlu masuk pada tahap kedua, learning to do. Siswa atau santri dilatih hingga mampu bertindak benar (do) sesuai ilmu pengetahuan yang telah dipelajari semisal mengucap salam dan menyapa dengan kalimat sapaan yang baik. Memberi label positif pada diri sendiri dan orang lain.
"Bisa juga diajarkan untuk segera membantu orang sekitarnya saat diperlukan. Melayani orang lain dengan segenap kompetensi/keterampilan diri (melakukan dan memberi yang terbaik)," katanya.
Dikatakan, tahap selanjutnya tak kalah pentingnya, karena pendidikan terhadap manusia dikatakan berhasil jika bisa memanusiakan manusia, ketika manusia (peserta didik) mampu hidup berdampingan dan bersama (live together) dalam mewujudkan kesejahteraan dan memakmurkan bumi.
Learning to live together ada yang secara kognitif (mindset) maupun konatif (sikap perilaku). Dua hal ini perlu dibiasakan untuk sanggup menerima perbedaan (toleran), memiliki sikap hormat (respect), menyelesaikan masalah dengan berpikir menang-menang dan membangun komunikasi tanpa prasangka.
Tahap terakhir, learning to be. Maksudnya, bahwa setiap individu punya cara dan gaya yang berbeda untuk mencapai versi terbaik dirinya. Tidak ada hak bagi siapapun menjadi hakim dan merendahkan orang lain atas apa yang mereka miliki dan peroleh.
Setiap peserta didik diajarkan memahami potensi dirinya. Setiap peserta diarahkan punya rencana dalam mengasah potensi dirinya.
"Setiap peserta didik didorong fokus menjadi yang terbaik versi diri masing-masing dan menghargai pencapaian dan keadaan temannya," tandas Asriana.